SISTEM PEMILU DI INDONESIA

1.Pendahuluan
     Permasalahan pemerintahan presidensil dengan multi partai di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai hingga kini, banyak para  pakar politik dan HTN yang menyimpulkan tidak efektifnya system presidensiil dalam model multi partai. Hal ini karena pentingnya relasi yang kuat antara presiden dengan parlemen untuk mengambil berbagai kebijakan dalam menjalankan  pemerintahan. Ide untuk menyederhanakan partai bukan hanya terjadi semenjak reformasi  bergulir, pada pemilu tahun 1977 Soeharto menyederhanakan banyaknya partai menjadi tiga saja, yakni Golkar, PPP dan PDI. Namun model yang digunakan oleh Soeharto tidak mencerminkan sikap yang demokratis. Untuk membatasi banyaknya partai politik, sudah banyak cara yang digunakan sepertielectoral threshold dan parliamentary threshold.
      Namun berbagai model yang digunakan ternyata belum sepenuhnya berjalan secara efektif. Dalam makalah ini penulis akan ikut memberikan pandangan terkait model penyederhanaan  partai di Indonesia dengan tujuan menguatkan system presidensil. Untuk itu penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:

1)Bagaimana model system pemilu yang selama ini digunakan di  Indonesia?
2)Bagaimana model yang ideal untuk menyederhanakan partai di Indonesia?
2.Pembahasan
         Kesulitan presidensiil dalam multi partai banyak menjadi perhatian dari para  pakar Politik dan HTN, seperti yang dituliskan oleh Mainwaring di bawah ini:
 In this article I argue that in presidential sistims, multiparty democracy is moredifficult to sustain than two-party democracy. Only one country Chile—with a multiparty sistim and a presidential sistim has achieved stable democracy. I agree with recent contributions that suggest that presidential sistims are generally less favorable to stable democracy than  parliamentary sistims (especially cabinet governments), but go one step further in arguing that the difficulties of presidential democracy are compounded by multiparty sistims Berdasarkan pengamatan Mainwaring, hanya Chile yang kondisi pemerintahannya stabil, bahkan ia setuju dengna pendapat yang mengatakan kalau demokrasi lebih sesuai dengan parlementer dibandingkan dengan presidensiil. Namun dalam makalah ini penulis tidak akan terlalu jauh membahas hal tersebut, karena ketika amandemen kita sudah sepakat untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat system  presidensiil.
Berbagai Sistem PemiluPolarisasi partai politik sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem pemilunya, ada dua sistem pemilihan umum,yaitu:
perwakilandistrik/mayoritas (single memberconstituency) dan sistem perwakilan berimbang (proportional  representation).  
1) Sistem Distrik 
          Sistim ini merupakan sistim pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis yang dinamakan sebagai distrik memperoleh satu kursi di parlemen. Negara diabagi kedalam wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya. Dalam system ini, calon yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi pemenang, meskipun selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang endukung calon lain akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain

 Beberapa keunggulan dari sistim distrik 

a.     Sistim ini lebih mendorong ke arah integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan dapat mendorong parpol menyisihkan perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama.
b.     Fragmentasi partai dan kecenderungan partai baru dapat dibendung dan akan mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa ada paksaan. Di Amerika dan Inggris system ini telah menunjang bertahanya system dwi  partai.
c.       Karena kecilnya distrik, wakil yang dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubunganya dengan konstituen lebih erat dan orang yang tekah terpilih akan cenderung memperjuangkan kepentingan distriknya.
d.      Bagi partai besar, system ini menguntungkan karena melalui distortion effect 
dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh dukungan mayoritas. Sehingga partai pemenang dapat mengendalikan  parlemen.
e.      Lebih mudah bagi partai pemenang untuk menguasai parlemen sehingga tidak perlu mengadakan koalisi .

System distrik memang akan mengarahkan penyederhanaan partai secara alami, namun system ini juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya sebagai berikut:
a.     Kurang memperhatkan kepentingan partai kecil dan golongan minoritas.
b.     Kurang representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik akan kehilangan suarau yang telah mendukungnya .
c.      System distrik kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam berbagai kelompok dan suku.



2). Sistem Proporsional
         Dalam sistim ini, presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tia
parpol. Jimly Asshidiqie mencontohkan model dari sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah dalam pemilu 1 juta orang sedangkan jumlah kursi di  perwakilan rakyat 100 kursi, maka untuk satu orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara. Pembagian kursi di parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.

Kelebihan/keuntungan sistem  proporsional:
 a.System proporsional dianggap representatif karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengn jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu .
 b.Sistem ini dianggap lebih demokratis karena tidak ada distorsi (kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen tanpa adanya suara yang hilang). Semua golongan dalam masyarakat memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen .
Kelemahan/kerugian sistem proporsional:
a.     Kurang mendorong partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tapai cenderung mempertjam perbedaan-perbedaan. Sehingga berakibat pada  bertembahnya jumlah partai.
b.     Memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai menentukan daftar calon.
c.      Oleh karena banyaknya partai yang bersaing, maka akan menyulitkan suatau partai untuk meraih suara mayoritas (50% lebih).

 Sistim proporsional ada dua, yaitu sistim daftar tertutup dan terbuka. Dalam sistim daftar tertutup, para pemilih harus memilih partai politik dan bukan calon legislatifnya. Sedangkan dalam sistim daftar terbuka, selain memilih gambar  paropol para pemilih juga memilih gambar kandidat yang diusung oleh parpol tersebut.

3). Gabungan system distrik dan system proporsional Karena dari kedua system di atas mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing, maka beberapa Negara mencoba untuk menggabungkan kedua system tersebut. Jerman adalah salah satu contoh Negara yang berhasil menerapkan gabungan kedua system ini, di Jerman setengah dari parlemen dipilih dengan system distrik dan setengahnya lagi dengan system proporsional. Setiap  pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar system distrik (sebagai suara perama) dan pemilih juga memilih partai dengan dasar system  proporsional (sebagai suara kedua). Di jerman juga diterapkan model  parliamentary threshold  sebagaimana yang kita kenal sekarang. Di sana, sebuah partai akan mempunyai kursi di parlemen jika meraih minimal 5% dari jumlah suara sah secara nasional atau memenagnkan setidaknya 3% distrik pemilihan.

3. Perjalanan Sistem Pemilu di Indonesia
         Sejak dulu sampai sekarang Indonesia tidak pernah berhenti mencari system  pemilu yang benar-benar cocok. Namun yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model proporsional meskipun belakangan ini model  proporsional yang berlaku bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955 pemilu diadakan dua kali; memilih anggota DPR pada bulan September dan memlih anggota Konstituante pada bulan Desember dengan model proporsional karena pada waktu itu hanya system proporsional yang dikenal di Indonesia. Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai dan satu perorangan, partai yang sangat menonjol adalah Masyumi, PNI, NU dan PKI10. Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada saat itu, system distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah. Namun hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang terkait dengannya. Sehingga pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan system  proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tinggakat II/kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota DPR, 100 nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Non ABRI yang diangkat dari utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, pemilu diikuti oleh 10 partai politik .
         Pada tahun 1973 Soeharto menyuruh agar partai yang ada melakukan fusi, sehingga pada pamilu tahun 1977 anggota pemilu hanya tiga partai, yakni Golkar, PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada sedikit perbedaan dalam susunan  parlemen dan model pemilihanya. DPD dipilih dengan model distrik, sedangkan DPR dan DPRD masih menggunakan system proporsional daftar terbuka. Pada emilu 2004, ada unsure distrik dalam model proprsionalnya, yakni suara perolehan suatu partai sisebuah Dapil yang tidak cukup untuk satu bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak bisa ditambahkan ke perolehan partai di Dapil lain.

4.Mencari Sistem Pemilu Yang Terbaik
        Pada pemilu 1999 Indonesia menggunakan sistim proporsional tertutup, tahun 2004 menggunakan sistim proporsional semi terbuka. Dinamakan dengan semi terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai dalam perolehan kursi di  parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap  berdasarkan nomor urut. Tahun 2009 menjadi proporsional daftar terbuka setelah MK mengabulkan  judicial review dengan menghapuskan pasal 214 UU No 10 th 2008 yang mengatur penetapan caleg berdasarkan nomor urut jika tidak memenuhi ketentuan 30 % dari BPP. Pada tahun 2009 calon dipilih sesuai dengan suara
terbanyak sehingga proporsional terbuka benar-benar diterapkan. Sistim proporsional terbuka dapat juga dikatakan sebagai sistim semi distrik, sebab sistim ini mengkombinasikan ciri-ciri atau lebih tepatnya kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam sistem distrik dan proporsional, sekaligus menimalisir kekurangan yang ada  pada keduanya.
        Pada pemilu 2004-2014, sisa suara yang terdapat dalam suatu dapil tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Sisa kursi akan diberikan kepada sisa suara terbanyak namun tidak mencapai BPP. Sebagai contoh, partai A mendapatkan suara 150.000 sedangkan BPPnya 10.000, maka partai tersebut akan mendapatkan 10 kursi. Sedangkan sisa 5000 kursinya tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Jika dalam dapil tersebut sisa suara dari berbagai partai yang paling banyak adalah 5000 suara, maka sisa kursinya diserahkan kepada partai A.
         Mengenai pengaruh dari sistim pemilu dan keberadaan partai, Maurice Duverger  berpendapat bahwa sistim distrik cenderung mendorong terbentuknya dua partai, sedangkan sistim proporsional cenderung mendorong terbentuknya sistim multi  partai. Sistim proporsional cenderung memperbesar fraksionalisme dan mendorong terbentuknya partai-partai kecil, sehingga ia berkeyakinan kalau sistim proporsional kondusif bagi bekembangnya multi partai .
         Untuk mengurangi banyaknya partai yang tumbuh dalam system proporsional, Indonesia menerapkan electoral threshold  dan
 parliamentary threshold . Pada pemilu tahun 1999 Indonesia menggunakan
electoral threshold sebagaimana yang terdapat dalam pasal 39 UU No 3 tahun 1999 yang menegaskan bahwa partai politik harus memiliki 2% dari kursi DPR atau 3% kursi DPRD I atau II sekurang-kurangnya di setengah jumlah propinsi dan kabupaten seluruh Indonesia. Batas electoral threshold dalam pemilu 2004 naik lagi menjadi 3% dari kursi DPR dan 4% kursi DPRD yang tersebar di setengah jumlah provinsi atau kabupaten di Indonesia.
         Mengenai pembatasan partai politik, dalam UU pemilu 2009 yakni UU No 10 th 2008, ketentuan parliamentary threshold  mulai diberlakukan yang diatur dalam  pasal 202. Dengan mulai digunakannya parliamentary threshold , maka ketentuan
electoral threshold  mulai dihilangkan.
          Pemilu tahun 2014 diatur dengan UU No 8 th 2012. Dalam UU teresebut,  besaran PT yang pada 2009 sebesar 2.5 % dinaikkan menjadi 3.5%, hal ini diharapkan dapat membuat parlemen lebih ramping. Sebagaimana yang ada, partai yang berhasil lolos menjadi peserta pemilu tingkat pusat hanya 12. Yang membedakan pemilu 2014 dan pemilu sebelumnya adalah adanya verifikasi yang ketat bagi semua parpol, baik yang sudah ada di parlemen maupun parpol baru. Pada mulanya ambang batas  parliamentary threshold sekaligus akan dijadikan electoral threshold , namun setelah MK mengeluarkan putusan No.52/PUU-X/2012 semua  parpol mengkuti tahapan-tahapan verifikasi. Putusan tersebut menguatkan  perspektif dalam proses penyederhanaan partai, yakni dengan menghapuskan ketentuan electoral threshold  dan diganti dengan parliamentary threshold   sekaligus tahapan-tahapan verfikasi bagi semua parpol. Terkait hal ini, Saldi Isra Pernah menuliskannya dalam sebuah opini di harian Kompas. secara jujur harus diakui, sepanjang pelaksanaan pemilu setelah reformasi, verifikasi faktual untuk keseluruhan parpol calon peserta pemilu baru kali ini dilaksanakan. Misalnya, pada pemilu 2004, parpol peserta pemilu 1999 yang memperoleh 2 persen atau lebih jumlah kursi DPR atau paling kurang 3 persen  jumlah kursi DPRD ditetapkan sebagai peserta pemilu tanpa verifikasi.Sementara parpol yang bergabung dengan sesama yang tak memenuhi ambang  batas diverifikasi terbatas. Verifikasi lebih ketat hanya ditujukan kepada parpol  baru. Dalam pemilu 2009, parpol peserta pemiluu 2004 yang memperolehminimal 3 persen kursi DPR atau paling kurang 4 persen kursi DPRD secara otomatis menjadi peserta pemilu. System proporsional terbuka dengan suara terbanyak, peningkatan parliamentary threshold  dan semakin ketatnya persyaratan bagi partai untuk mengikuti pemilihan umum memang dirasakan lebih demokratis dibandingkan menggunakan system distrik. Namun hal ini akan berjalan lambat untuk mendapatkan model dwi partai,  bahkan mungkin tidak akan benar-benar menghasilkan dua partai. Pilihan system  pemilu adalah pilihan yang lebih banyak unsure politiknya dibandingkan unsure akademiknya, berbagai kajian dan usulan tidak akan ada artinya jika tidak didukung kemauan politik, sebagaimana kasus yang terjadi pada tahun 1967. Mungkin kita perlu mencoba menggunakan system distrik, karena selama Indonesia merdeka kita selalu menggunakan system proporsional dengan berbagai variasi. Pada kenyataanya model tersebut selalu saja menghasilkan banyak partai.

 5. Penutup
        Pada awalnya, di dunia ini terdapat dua model system pemilu, yakni system distrik dan system proporsional. Karena kedua system tersebut mempunyai beberapa kelemahan, kemudian beberapa Negara mencoba mengaombinasikanya sehingga dikenal sebagai system campuran atau semi distrik. Yang menarik, percobaan untuk mencampurkan system selalu bermula pada system proporsional yang dipoles dengan warna distrik, bukan sebaliknya.
Semenjak awal diadakanya pemilihan umum, Indonesia masih tetap menggunakan system proporsional dengan berbagai tambahan warna distrik, seperti  pada tahun 1971 yang menjamin setiap daerah tingkat II mendapatkan jatah 1 kursi di DPR. Pada tahun 2004-2014, hasil suara suatu partai yang tidak mencapai BPP tidak dapat ditambahkan ke Dapil lain. Jika dalam sebuah dapil ada sisa kursi, maka kursi tersebut diserahkan kepada partai yang sisa suaranya terbanyak. Model yang selama ini digunakan ternyata belum bisa efektif menyederhanakan partai yang dapat mengefektifkan pemerintahan presidensiil.
          Karena tidak berhasilnya proporsional yang telah digunakan semenjak pemilu  pertama, mungkin perlu mencoba hal yang baru yakni menggunakan system distrik dengan berbagai variasi agar tidak terlalu mencederai demokrasi. Model  parliamentary threshold  dan pengetatan syarat bagi partai untuk mengikuti pemilu memang sedikit demi sedikit akan menyederhanakan partai, namun perlu standar yang tinggi untuk mendapatkan 2 sampai 3 partai. Standar tinggi parliamentary threshold  juga mendapatkan banyak kecaman, partai yang kecil merasa dizalimi dan mengatakan hal ini bertentangan dengan demokrasi. Jika menggunakan system distrik, semua partai akan bisa mengikuti pemilu dan akan berjuang keras agar mereka menjadi partai yang dominan di sebuah distrik. Dengan system ini tidak perlu ada persyaratan ketat untuk sebuah partai yang akan mengikuti pemilu, semuanya akan ditentukan dari kemampuanya menjaring suara di setiap distrik. Dengan  beberapa kali pemilu saja system ini akan menghasilkan 2-3 partai yang dominan dan hal ini tentunya akan membuat presidensiil berjalan secara efektif. Partai yang mendapatkan suara di satu-dua distrik atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan suara, hampir dipastikan akan segera bergabung dengan partai yang besar.

0 komentar:

GEOPOLITIK INDONESIA

GEOPOLITIK




KATA PENGANTAR
       Geopolitik dan geostrategi merupakan permasalahan yang sangat penting pada dua abad terakhir ini.  Permasalahan ini menjadi penting karena manusia yang telah membangsa membutuhkan wilayah sebagai tempat tinggalnya yang kemudian dikenal sebagai negara. Dalam per-kembangannya pengertian negara tidak saja diartikan sebagai wilayah, namun diartikan lebih luas yaitu sebagai institusi.  Prasyarat negara sebagai institusi menurut Prof. DR. Sri Soemantri (Dikti, 2001: 36) secara mininal meliputi unsur : wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berkuasa.  Unsur rakyat suatu negara disamping warganegara juga meli-puti bukan warganegara.  Agar negara dapat mencapai tujuan nasi-onal—aman dan sejatera (Pembukaan UUD-45 Alinea IV)—perlu pendidikan kewarganegaraan.  Pendidikan yang dimaksud agar warga-negara Indonesia tahu tentang hak dan kewajiban serta mampu berdiri dan tetap menjaga jati dirinya ditengah arus globalisasi.
            Bertitik tolak dari amanat UU no 20/2003 ttg Sisdiknas, khusus-nya penjelasan pasal 37, tujuan pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebang-saan dan cinta tanah air.  

Latar Belakang
            Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan !   Tidak dapat dipi-sahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya.    Demikian kata Ir. Sukarno pada 1 Juni 1945 dihadapan Sidang BPUPKI (Setneg RI, tt : 66).   Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggalnya sebagai negara.  Dalam perkembangan selanjutnya penger-tian negara tidak hanya wilayah tempat tinggal, namun diartikan lebih luas lagi yang meliputi institusi, yaitu : pemerintah, rakyat, kedaulatan dan lain sebagainya, yang kemudian disebut sebagai state.
            Karena orang dan tempat tinggalnya tidak dapat dipisahkan, perebutan ruang menjadi hal yang menimbulkan konflik antar antar manusia—individu, keluarga, masyarakat, bangsa—hingga kini, mes-kipun bentuknya dapat secara fisik maupun non fisik.   Untuk dapat mempertahankan ruang hidupnya bangsa harus mempunyai kesatuan cara pandang yang dikenal sebagai wawasan nasional.  Para ilmuwan politik dan militer menyebutnya sebagai geopolitik yang merupakan kelanjutan dari geografi politik.
            Konsep wawasan nasional setiap bangsa berbeda.  Hal ini berkaitan dengan profil diri bangsa—sejarah, pandangan hidup, ideo-logi, budaya—dan sudah barang tentu ruang hidupnya yaitu geografi. Kedua unsur pokok—profil bangsa dan geografi—inilah yang harus diperhatikan dalam membuat konsep geopolitik bangsa dan negara.  Geopolitik Indonesia dinamakan Wawasan Nusantara, dengan alasan :
1.       Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan (Setneg RI, tt : 66) 
2.      Berada diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua lautan (La-utan India dan Lautan Pasifik) sehingga tepatlah bila dinamakan nusa diantara laut/air yang selanjutnya dinamakan Nusantara.
3.       Keunikan lainnya adalah bahwa wilayah nusantara berada di Garis Khatulistiwa dan diliwati oleh Geo Stationary Satelite Orbit (GSO).
            Konsep wawasan bangsa tentang wilayah mulai dikembangkan sebagai ilmu pada akhir abad XIX dan awal abad XX dan dikenal sebagai geopolitik, yang pada mulanya membahas geografi dari segi politik negara (state).  Selanjutnya berkembang konsep politik—dalam arti distribusi kekuatan—pada hamparan geografi negara, sehingga tidaklah berlebihan bahwa geopolitik sebagai ilmu “baru” dicurigai sebagai upaya pembenaran pada kosepsi ruang (Sunardi. 2004 : 157).  Oleh karena itu dalam membahas masalah wawasan nasional bangsa, disamping membahas sejarah terjadinya konsep wawasan nasional akan dibahas pula teori geopolitik dan implementasinya pada negara kita.

Geomorfologi Negara
            Sebelum membahas masalah geopolitik—suatu negara—perlu mendalami ciri khusus negara berdasarkan bentuk geomorfologinya (ciri fisik dan non fisik).  Setelah abad XIX perkembangan geopolitik dipengaruhi oleh orientasi manusia pada konstalasi wilayah.  Masa lalu—pra abad XIX—pengertian negara identik dengan tanah, sehingga
banyak bangsa menamakan negaranya dengan unsur tanah, misalnya : England, Holland, Poland, Rusland, Thailand.
      Negara berdasarkan bentuk geografinya dibedakan :
1.       Dikelilingi daratan (land lock country).
2.       Berbatasan dengan laut, dapat dibedakan menjadi :
a.       Negara pulau  (oceanic archipelago)
b.       Negara pantai (coastal archipelago)
c.       Negara kepulauan (archipelago)
Pengertian Asas Kepulauan, berdasarkan UNCLOS 1982 :
Kepulauan :  merupakan suatu kesatuan utuh wilayah, yang batas-batasnya ditentukan oleh laut, dalam lingkungan mana terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau
Atau
Merupakan gugusan pulau-pulau dengan perairan diantaranya dan angkasa di atasnya sebagai kesatuan utuh, dengan unsur air sebagai penghubung.

Perkembangan Teori Geopolitik
            Istilah geopolitik semula sebagai ilmu bumi politik kemudian berkembang menjadi pengetahuan tentang sesuatu yang berhubungan konstelasi—ciri khas negara yang berupa : bentuk, luas, letak, iklim, dan sumber daya alam—suatu negara untuk membangun dan membina negara.  Para penyelenggara pemerintahan nasional hendaknya menyu-sun pembinaan politik nasional berdasarkan kondisi dan situasi geomor-fologi secara ilmiah berdasarkan cita-cita bangsa.  Sedangkan geostra-tegi diartikan sebagai pelaksanaan geopolitik dalam negara. (Poernomo, 1972) .
            Teori geopolitik kemudian berkembang menjadi konsepsi wa-wasan nasional bangsa. Oleh karena itu wawasan nasional bangsa selalu mengacu pada geopolitik.  Dengan wawasan nasional suatu negara kita dapat mempelajari kemana arah perkembangan suatu negara.  

Beberapa Pandangan Para Pemikir Geopolitik
            Sebelum membahas wawasan nasional terlebih dahulu perlu pembahasan tentang beberapa pendapat dari para penulis geopolitik.  Semula geopolitik adalah ilmu bumi politik yang membahas masalah politik dalam suatu negara, namun berkembang menjadi ajaran yang melitimasikan Hukum Ekspansi suatu negara.  Hal ini tidak terlep  :
as dari para penulis antara lain

    1.  Friedrich Ratzel (1844-1904).  Teori yang dikemukakan adalah teori Ruang yang dalam konsepsinya dipengaruhi oleh ahli biologi Charles Darwin.  Ia menyamakan negara sebagai makhluk hidup yang makin sempurna serta membutuhkan ruang hidup yang makin meluas, karena kebutuhan.  Dalam teorinya bahwa bangsa yang berbudaya tinggi akan membutuhkan sumber daya yang tinggi dan akhirnya mendesak wilayah bangsa yang “primitif”. Pendapat ini dipertegas Rudolf Kjellen (1864-1922) dengan teori kekuatan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa negara adalah satuan politik yang menyeluruh serta sebagai satuan biologis yang memiliki inte-lektualitas. Dengan kekuatannya mampu ekploitasi negara “primi-tif” agar negaranya dapat swasembada. Beberapa pemikir sering
menyebutnya sebagai Darwinisme sosial.

2.       Karl Haushofer (1869-1946).
Haushofer yang pernah menjadi atase militer di Jepang meramalkan bahwa Jepang akan menjadi negara yang jaya di dunia.  Untuk men-jadi jaya bangsa harus mampu benua-benua di dunia.  Ia berpen-dapat bahwa pada hakikatnya dapat dibagai atas empat kawasan benua (Pan Region) dan dipimpin oleh negara unggul.  Teori Ruang dan Kekuatan, merupakan hasil penelitiannya serta dikenal pula sebagai Teori Pan Regional :
a.       Lebensraum (ruang hidup) yang “cukup”
b.       Autarki (swasembada).
c.       Dunia dibagi 4(empat) Pan Region, tiap region dipimpin satu bangsa (nasion) yang unggul.  Pan region : Pan Amerika, Pan Asia Timur, Pan Rusia India, Pan Eropa Afrika. Dari pemba-gian daerah inilah kita dapat segera tahu percaturan politik masa lalu dan masa depan.
Pengaruh Haushofer—menjelang Perang Dunia II—sangat besar di Jerman maupun di Jepang.   Semboyan Macht und Erde di Jerman serta doktrin Fukoku Kyohei melandasi pembangunan kekuatan angkatan perang kedua negara menjelang Perang Dunia II.

3.   Sir Halford Mackinder (1861-1947).
      Teori Daerah Jantung (dikenal pula sebagai wawasan benua).  Dal-am teori ahli geografi ini mungkin terkandung agar negara lain selalu berpaling pada pembentukan kekuatan darat.  Dengan demikian tidak mengganggu pengembangan armada laut Inggris.   Teorinya dapat disimpulkan :
a.       Dunia terdiri :  9/12 air, 2/12 pulau dunia (Eropa, Asia, Afrika), 1/12 pulau lain
b.       Daerah terdiri : Daerah Jantung (Heartland), terletak di pulau dunia yaitu : Rusia, Siberia, Sebagian Mongolia, Daerah Bulan Sabit Dalam (inner cresent) meliputi : Eropa Barat, Eropa Selatan, Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Timur, dan Bulan Sabit Luar (outer cresent) meliputi : Afrika, Australia, Amerika/ Benua Baru.
c.       Bila ingin menguasai dunia, harus kuasai Daerah Jantung, untuk itu diperlukan kekuatan darat yang memadai.
Teori geopolitik Mackinder dapat disimpulkan sebagai berikut (Sunardi, 2004 : 166) adalah :
      Who rules East Europe commands the Heartland Who rules the Heartland commands the    World Island, Who rules the world Island commands th World.

3.       Sir Walter Raleigh (1554-1618) dan  Alfred T. Mahan (1840-1914)
      Teori Kekuatan Maritim yang dicanangkan oleh Raleigh, bertepatan dengan kebangkitan armada Inggris dan Belanda yang ditandai  de-ngan kemajuan teknologi perkapalan dan pelabuhan serta semangat perdagangan yang tidak lagi mencari emas dan sutera di Timur (Simbolon.1995 : 425).   Pada masa ini pula lahir tentang pemikiran hukum laut internasional yang berlaku sampai tahun 1994 (setelah UNCLOS 1982 disetujui melalui SU PBB). 

a.   Sir W. Raleigh : Siapa yang kuasai laut akan menguasai perda-gangan dunia/kekayaan dunia dan akhirnya menguasai dunia, oleh karena itu harus memiliki armada laut yang kuat.  Sebagai tindak lanjut maka Inggris berusaha menguasai pantai-pantai benua, paling tidak menyewanya.
b.  Alfred T. Mahan : Laut untuk kehidupan, sumber daya alam banyak terdapat di laut, oleh karena harus dibangun armada laut yang kuat untuk menjaganya.  Menurut Mahan disamping hal tersebut juga perlu diperhatikan juga, masalah akses ke laut, dan jumlah penduduk karena faktor ini juga akan memungkinkan kemampuan industri untuk kemandiran suatu bangsa dan negara.

5.   Giulio Douhet (1869-1930) dan William Mitchel (1879-1936).
      Awal abad XX merupakan kebangkitan ilmu pengetahuan pener-bangan.  Kedua orang ini mencita-citakan berdirinya Angkatan Uda-ra.  Dalam teorinya, menyebutkan bahwa kekuatan udara mampu beroperasi hingga garis belakang lawan serta kemenangan akhir ditentukan oleh kekuatan udara.

7.   Nicholas J. Spijkman (1893-1943)
Teori Daerah Batas (Rimland theory).  Teorinya dipengaruhi oleh Mackinder dan Haushoffer, terutama dalam membagi daerah.  Karena ia adalah bangsa Belanda yang pada dasarnya bangsa mari-tim, maka menurutnya penguasaan daerah jantung harus ada akses ke laut dan hendaknya menguasai pantai sepanjang Eurasia.  Dalam teorinya tersirat :
a.   Dunia menurutnya terbagi 4 yaitu daerah Jantung (Heartland), Bulan Sabit Dalam (Rimland), Bulan Sabit Luar dan Dunia Baru (Benua Amerika).
b.  Menggunakan kombinasi kekuatan darat, laut, udara untuk ku-asai dunia.
      c.  Daerah Bulan Sabit Dalam (Rimland) akan lebih besar penga-ruhnya dalam percaturan politik dunia daripada daerah jantung.
      d.   Wilayah Amerika yang paling ideal dan menjadi negara terkuat.
           
8.  Bangsa Indonesia.
     Wawasan bangsa Indonesia tersirat melalui UUD 1945 antara lain :
a.       Ruang hidup bangsa terbatas diakui internasional.
b.       Setiap bangsa sama derajatnya, berkewajiban menjaga per-damaian dunia.
c.       Kekuatan bangsa untuk mempertahankan eksistensi dan kemakmuran rakyat.
            Dari pembahasan tersebut diatas dapaat disimpulkan bahwa teori geopolitik menjadi doktrin dasar bagi terbentuknya negara nasional yang kuat dan tangguh.  Sebagai diktrin dasar ada empat unsur yang perlu diperhatikan yaitu (Sunardi, 2004 : 189 s/d 177) :
1.   Konsepsi Ruang, yang merupakan aktualisasi dari pemikiran negara sebagai organisasi hidup.  Ruang yang merupakan inti dari konsepsi geopolitik merupakan wadah dinamika politik dan militer.  Hal juga dapat dirasakan pada era Perang Dingin—antara Blok Barat dan Blok Timur—dimana kedua kutub saling mencari pengaruh di dunia ketiga (Negara Sedang Berkembang). 
2.  Konsepsi Frontier, yang merupakan konsekwensi dari kebutuhan dan lingkungan.  Frontier merupakan batas imajiner antara dua negara yang saling mempengaruhi.  Oleh karena itu batas resmi (boundary) dapat bergeser karena berbagai pengaruh terutama masalah sosial, budaya, maupun ekonomi.  Pengaruh negara asing/tetangga—yang lebih maju—bila tidak ditangani secara serius akan menimbulkan gejolak politik yang melabilkan Pemerintah. 
3.  Konsepsi Politik Kekuatan, yang ingin menjelaskan tentang kehi-dupan bernegara.  Politik kekuatan yang merupakan faktor dinamika kehidupan bangsa karena dinamika organisme bangsa. Dunia yang menyempit dan percepatan jalannya sejarah (Wright, 1941 : 5 s/d 7) sebagai akibat revolusi teknik dapat duinia makin terbuka dan cita-cita dunia tanpa batas (Ohmae, 1990 : 214)—merupakan ciri globalisasi—harus dapat ditangkal oleh setiap negara lebih-lebih ba-gi negara sedang berkembang.  
4.  Konsepsi Keamanan Negara dan Bangsa, yang kemudian melahirkan konsepsi geostrategi. Geopolitik akhirnya bertujuan untuk penga-manan negara baik secara fisik maupun sosial (ekonomi, budaya dan kehidupan siosial lainnya). Untuk itu perlu dipersiapkan daerah penyangga yang dikenal sebagai daerah frontier yang berbatasan dengan negara jiran dan dipersiapkan secara sistematis pembangunannya. 

                                                  GEOPOLITIK INDONESIA

Wawasan Nasional
            Wawasan dari kata wawas yang berarti meninjau, memandang, mengamati.  Dengan demikian wawasan dapat diartikan konsepsi cara pandang (KBBI, 2002 : 1271).  Pada awal era reformasi menjadi kurang populer, sehingga para politisipun enggan menggunakan istilah ini (tidak lagi tersurat dalam GBHN 1999 sebagai wawasan bangsa). 
Wawasan nasional bangsa terbentuk karena bangsa tinggal dalam suatu wilayah—yang diakui sebagai miliknya—untuk kehidupannya.  Oleh karena itu, apabila kita membahas bangsa akan terkait pula masalah : sejarah diri dan budaya, falsafah hidup serta tempat tinggal dan lingkungannya.  Dari ketiga aspek tercetus aspirasi bangsa yang kemu-dian dituangkan dalam perjanjian tertulis—konstitusi—maupun tidak tertulis namun tetap menjadi catatan hidup—motivasi—yang semuanya dituangkan menjadi ajaran—doktrin—dasar untuk membangun negara yang berupa wawasan nasional.
            Wawasan nasional bangsa Indonesia, dinamakan Wawasan Nusantara, yang merupakan implementasi perjuangan pengakuan se-bagai negara kepulauan yang disesuaikan dengan kemajuan jaman.  Pada masa lalu paham negara kepulauan hanya meliputi kumpulan pulau-pulau—berdasarkan contour—yang dipisahkan oleh laut.  Paham Nusan-tara menunjukkan 2 (dua) arah pengaruh :
1.       Ke dalam  :  berlaku asas kepulauan, yang menuntut terpadunya unsur tanah dan air yang selaras dan serasi guna merealisasikan wujud tanah air.
2.       Ke luar      :  berlakunya asas posisi antara, yang menuntut posisi kuat bagi Indonesia untuk dapat berdiri tegak


dari tarikan segala penjuru.

Wawasan Nusantara
            Geopolitik Indonesia dinamakan Wawasan Nusantara, yang secara umum didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografinya yang berwujud negara kepulauan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan tujuannya adalah untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional dan turut serta menciptakan dalam ketertiban dan perdamaian dunia. Kesemua itu dalam rangka mencapai Tujuan Nasional.    Oleh karena itu hakekat tujuan wawasan nusantara adalah kesatuan dan persatuan dalam kebhinekaan, yang mengandung arti :
1.  Penjabaran tujuan nasional yang telah diselaraskan dengan kondisi, posisi dan potensi geografi serta kebhinekaan budaya.
2.    Pedoman pola tindak dan pola pikir kebijaksanaan nasional
3.    Hakikat Wawasan Nusantara persatuan dan kesatuan dalam ke-bhinekaan.

Kedudukan Wawasan Nusantara
            Dalam sistem kehidupan nasional Indonesia sebagai paradigma kehidupan Nasional Indonesia yang urutannya sebagai berikut :
1.       Pancasila sebagai filsafat, ideologi bangsa dan dasar negara.
2.       UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
3.       Wawasan Nusantara sebagai geopolitik bangsa Indonesia.
4.       Ketahanan Nasional sebagai geostrategi bangsa dan negara Indonesia.
5.       Politik dan strategi nasional sebagai kebijaksanaan dasar nasional dalam pembangunan nasional.
             Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional sebagai doktrin da-sar pengaturan kehidupan nasional.  Sedangkan politik dan strategi na-sional sebagai kebijaksanaan dasar nasional dalam bentuk GBHN—masa Orba—yang dijabarkan lebih lanjut dalam kebijaksanaan strategi pada strata di bawahnya.
            Doktrin dasar adalah himpunan prinsip atau teori yang diajarkan, dianjur-kan dan diterima sebagai kebenaran, untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan kegiatan, dalam usaha mencapai tujuan.  Doktrin dasar adalah doktrin yang timbul dari pemikiran yang bersifat falsafah.

Peranan Wawasan Nusantara
            Dalam kehidupan nasional, Wawasan Nusantara dikembangkan peranannya untuk :
1.       Mewujudkan serta memelihara persatuan dan kesatuan yang serasi dan selaras, segenap aspek kehidupan nasional.
2.       Menumbuhkan rasa tanggung jawab atau pemanfaatan lingkungan-nya. Peranan ini berkaitan dengan adanya hubungan yang erat dan saling terkait dan ketergantungan antara bangsa dengan ruang hi-dupnya. Oleh karena itu pemanfaatan lingkungan harus bertanggung jawab. Bila tidak, maka akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan merugikan bangsa itu sendiri.
3.       Menegakkan kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional.  Ke-pentingan nasional menjadi dasar hubungan antara bangsa. Apabila satu bangsa kepentingan nasionalnya sejalan atau paralel dengan kepentingan nasional bangsa lain, maka kedua bangsa itu akan mu-dah terjalin hubungan persahabatan. 
4.       Merentang hubungan internasional dalam upaya ikut menegakkan perdamaian.

Wajah Wawasan Nusantara
            Pengertian istilah wajah adalah roman muka.   Wajah manusia hanya satu, tetapi wajah itu memiliki beberapa roman muka dan tiap roman muka berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
            Dalam hubungan itu dapat dikatakan bahwa geopolitik Indonesia hanya satu yaitu Wawasan Nusantara (Wasantara). Tetapi wajahnya lebih dari satu yaitu ada 4 wajah meliputi :
1.       Wajah Wasantara sebagai wawasan nasional yang melandasi konsepsi Ketahanan Nasional.
2.       Wajah Wasantara sebagai wawasan pembangunan nasional.
3.       Wajah Wasantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan.
4.       Wajah Wasantara sebagai wawasan kewilayahan.

Wasantara sebagai Landasan Konsepsi Ketahanan Nasional
            Wajah Wawasan Nusantara dalam pengembangannya dipandang sebagai konsepsi politik ketatanegaraan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional. Sebagai suatu konsepsi politik yang didasarkan pada pertim-bangan konstelasi geografis, wawasan nusantara dapat dikatakan meru-pakan penerapan teori geopolitik dari bangsa Indonesia.
            Dengan demikian wawasan nusantara selanjutnya menjadi lan-dasan penentuan kebijaksanaan politik negara. Dalam perjuangan menca-pai tujuan nasional akan banyak menghadapi tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri.  Untuk menanggulanginya dibutuhkan suatu keku-atan, baik fisik maupun mental.  Semakin tinggi kekuatan tersebut maka semakin tinggi pula kemampuannya. Kekuatan dan kemampuan inilah yang diistilahkan ketahanan nasional.  Semakin tinggi ketahanan nasi-onal yang dapat dicapai maka semakin mantap pula kesatuan dan persa-tuan nasional. Semakin mantapnya persatuan dan kesatuan nasional berarti semakin dekat kita dalam mencapai tujuan nasional.  Berdasarkan rangkaian pemikiran yang demikian itu, maka ketahanan nasional diar-tikan sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan dalam mencapai persatuan dan kesatuan nasional dalam rangka keseluruhan mencapai kesejahteraan dan keamanan nasional.  Bertolak dari pandangan ini maka ketahanan nasional merupakan geostrategi nasional, untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditegaskan dalam wawasan nusantara.  Ketahanan nasional ini perlu dibina, dipelihara dan ditingkatkan dengan berpedoman pada wawasan nusantara yang juga serentak untuk memberi isi kepadanya.

Wasantara sebagai Wawasan Pembangunan Nasional
            Menurut UUD 1945, MPR wajib membuat GBHN.  GBHN —masa  Orba—menegaskan bahwa wawasan dalam penyelenggaraan pem-bangunan nasional adalah Wawasan Nusantara, yang bersumber pada Pancasila dan berdasarkan UUD’45. Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan ling-kungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mencakup :
1.       Perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan politik dalam arti :
a.       Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang hidup dan kesatuan matra seluruh bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa.
b.       Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya.
c.       Bahwa secara psikologis, bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air, serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita bangsa.
d.      Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara yang melandasi, membimbing dan meng-arahkan bangsa menuju tujuannnya.
e.       Bahwa kehidupan politik diseluruh wilayah Nusantara meru-pakan satu kesatuan politik yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD ‘45.
f.        Bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepentingan nasional.
g.       Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui politik luar negeri bebas dan aktif serta diabadikan pada kepen-tingan nasional.
2.  Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan ekonomi, dalam arti :
a.       Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik bersama bangsa dan bahwa ke-perluan hidup sehari-hari harus tersedia merata di seluruh wilayah tanah air.
b.       Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan kehidupan ekonominya.
c.       Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara meru-pakan satu kesatuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2.       Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya dalam arti :
a.       Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata dan seimbang serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai dengan tingkat kemajuan bangsa.
b.       Bahwa budaya bangsa Indonesia pada hakekatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggambarkan keka-yaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengem-bangan budaya bangsa seluruhnya dengan tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa yang hasil-hasilnya dapat dinikmati oleh bangsa.
4.  Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan Pertahanan dan Keamanan, dalam arti :
a.       Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.
b.       Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.
Dari rangkaian uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : 
1.       Wawasan Nusantara merupakan penjabaran tujuan nasional yang telah diselaraskan dengan kondisi, posisi dan potensi geografi serta kebhinekaan bangsa dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan.
2.       Wawasan Nusantara merupakan pola tindak dan pola pikir dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Wasantara sebagai Wawasan Pertahanan dan Keamanan Negara
            Wawasan Nusantara adalah pandangan geopolitik Indonesia dalam mengartikan tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang me-liputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.  Mengingat bentuk dan letak geografis Indonesia yang merupakan suatu wilayah lautan dengan pulau-pulau di dalamnya dan mempunyai letak equatorial beserta segala sifat dan corak khasnya, maka implementasi nyata dari Wawasan Nusantara yang menjadi kepentingan-kepentingan pertahanan keamanan negara harus ditegakkan.  Realisasi penghayatan dan pengi-sian Wawasan Nusantara disatu pihak menjamin keutuhan wilayah nasional dan melindungi sumber-sumber kekayaan alam beserta penye-larasannya, sedangkan dilain pihak dapat menunjukkan kedaulatan negara Republik Indonesia. Untuk dapat memenuhi tuntutan itu dalam perkembangan dunia, maka seluruh potensi pertahanan keamanan negara haruslah sedini mungkin ditata dan diatur menjadi suatu kekuatan yang utuh dan menyeluruh.  Kesatuan Pertahanan dan Keamanan negara mengandung arti bahwa ancaman terhadap sebagian wilayah manapun pada hakekatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.

Wasantara sebagai Wawasan Kewilayahan
            Sebagai faktor eksistensi suatu negara wilayah nasional perlu ditentukan batas-batasnya agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Oleh karena itu pada umumnya batas-batas wilayah suatu negara dirumuskan dalam konstitusi negara (baik tertulis maupun tidak tertulis).   Namun UUD’45 tidak memuat secara jelas ketentuan wilayah negara Republik Indonesia, baik dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya menyebut wilayah/daerah yaitu :
1.       Pada Pembukaan UUD’45, alinea IV disebutkan “…..seluruh tumpah darah Indonesia…..”
2.       Pasal 18, UUD’45 : “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil ……………
            Untuk dapat memahami manakah yang dimaksudkan dengan wilayah atau tumpah darah Indonesia itu, maka perlu ditelusuri pemba-hasan-pembahasan yang terjadi pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada bulan Mei – Juni1945, yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indone-sia (PPKI), sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, adalah bersumberkan pada Rancangan UUD dan Piagam Jakarta yang dihasilkan oleh BPUPKI. Dalam rangkaian sidang-sidang BPUPKI bulan Mei – Juni 1945, telah dibahas masalah wilayah Negara Indonesia merdeka yang lebih populer disebut tanah air atau juga “tumpah darah” Indonesia.
            Dalam sidang-sidang ini yang patut dicatat adalah pendapat : Dr. Supomo, SH dan Muh. Yamin, SH pada tanggal 31 Mei 1945 serta Ir. Sukarno tanggal 1 Juni 1945. 
Supomo mennyatakan, a.l.:
                  “Tentang syarat mutlak lain-lainya, pertama tentang daerah, saya mufakat dengan pendapat yang menga-takan : pada dasarnya Indonesia yang harus meliputi batas Hindia Belanda…” (Setneg RI, tt : 25)

Muh Yamin menghendaki, a.l :
“….. bahwa Nusantara terang meliputi Sumatera, Jawa-Madura, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, dan semenanjung Malaya, Timor dan Papua. ….Daerah kedaulatan negara Republik Indonesia ialah daerah yang delapan yang menjadi wilayah pusaka bangsa Indonesia”. (Setneg RI, tt : 49)

Sukarno dalam pidatonya, a.l. :
“ …..   Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya.  … Tempat itu yaitu tanah-air. Tanah-air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana “kesatuan-ke-satuan” disitu.  Seorang anak kecilpun, jikalau ia meli-hat dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan In-donesia merupakan satu kesatuan. ….” (Setneg RI, tt : 66)

            Yang disepakati sebagai wilayah negara Indonesia adalah bekas wilayah Hindia Belanda.  Namun demikian dalam rancangan UUD maupun dalam keputusan PPKI tentang UUD 1945, ketentuan tentang mana wilayah negara Indonesia itu tidak dicantumkan. Hal ini dijelaskan oleh ketua PPKI—Ir. Sukarno—bahwa : dalam UUD yang modern, daerah (= wilayah) tidak perlu masuk dalam UUD (Setneg RI, tt : 347).  Berdasarkan penjelasan dari Ketua PPKI tersebut, jelaslah bahwa wilayah atau tanah air atau tumpah darah Indonesia meliputi batas bekas Wilayah Hindia Belanda.
            Untuk menjamin pelestarian kedaulatan, serta melindungi unsur wilayah dan kepentingan nasional dibutuhkan ketegasan tentang batas wilayah.  Ketegasan batas wilayah tidak saja untuk mempertahankan wilayah tetapi juga untuk menegaskan hak bangsa dan negara dalam pergaulan internasional.  Wujud geomorfologi Indonesia berdasarkan Pancasila—dalam arti persatuan dan kesatuan—menuntut suatu konsep kewilayahan yang memandang daratan/pulau, lautan serta udara angkasa diatasnya, sebagai satu kesatuan wilayah.  Dari dasar inilah laut bukan lagi sebagai alat pemisah wilayah.
            Dalam menentukan batas wilayah negara, Pemerintah RI meng-acu pada Aturan peralihan UUD-45, pasal II—“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”—yang memberlakukan undang-undang sebelumnya. Pemerintah Hindia Belanda telah menge-luarkan peraturan perundang-undangan wilayah dan termuat dalam Ordomantie tahun 1939 yang diundangkan pada 26 Agustus 1939 yang dimuat dalam Staatblad No. 422 tahun 1939, tentang “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie”.  Berdasarkan ketentuan ordonansi ini, penentuan lebar laut wilayah sepanjang 3 mil laut dengan cara penarikan garis pangkal berdasar garis air pasang surut, yang dikenal pula mengikuti contour pulau/darat. Ketentuan demikian itu mempunyai konsekwensi bahwa secara hipotetis setiap pulau yang merupakan bagian wilayah negara Republik Indonesia mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri.  Sedangkan disisi luar atau sisi laut (outer limits) dari tiap-tiap laut teritorial dijumpai laut bebas.  Jarak antara satu pulau dengan pulau lain yang menjadi bagian wilayah negara Republik Indonesia “dipi-sahkan” oleh adanya kantong-kantong laut yang berstatus sebagai laut bebas yang berada diluar yuridiksi nasional kita.  Dengan demikian dalam kantong-kantong laut nasional tidak berlaku hukum nasional.
            Berdasar itulah pada tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang wilayah perairan Negara Republik Indonesia yang dikenal sebagai “Deklarasi Juanda”—Ir. Juanda pada periode itu sebagai Perdana Menteri Republik Indo-nesia—yang pada hakekatnya melakukan perubahan terhadap ketentuan ordonansi pada lembaran negara (staatblad) no. 422 tahun 1939 sebagai berikut :
1.       Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi didasarkan pada garis pasang surut (low water line), tetapi didasarkan pada sistem pe-narikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar dari pada pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk kedalam wilayah negara  Republik Indonesia (= point to point theory).
2.       Penentuan lebar laut wilayah dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.   Deklarasi Juanda pada hakikatnya adalah menerapkan asas archipelago atau asas nusantara. Didalam deklarasi ini terkandung kepentingan dan tujuan bangsa Indonesia ialah keutuhan wilayah negara di lautan.
Deklarasi ini selanjutnya diakomodasikan dalam rangkaian peraturan perundang-undangan, sebagai berikut :
1.       Undang-undang no. 4 PRP tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Dalam UU ini diberikan penjelasan dan kejelasan tentang :
a.       alasan atau argumentasi perlunya meninjau kembali peraturan tentang penentuan batas laut wilayah.
b.       Makna dan pengertian : perairan Indonesia, laut wilayah Indo-nesia, perairan pedalaman Indonesia.
2.       Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1960 tentang lalu-lintas laut damai perairan Indonesia.  Peraturan ini menentukan aturan-aturan, antara lain tentang :  lalu lintas laut damai kendaraan air asing di perairan pedalaman, pengertian dan makna lalu lintas damai kendaraan asing, bentuk dan luas kedaulatan wilayah Nusantara sejak “Deklarasi Juanda 1957”.

Tantangan Bangsa Indonesia Akibat Deklarasi Juanda
            Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal negara kita menjadi utuh tidak terpecah lagi.  Hal ini menimbulkan reaksi bebe-rapa negara yang beragam dan dapat dikatagorikan menjadi 4 (Kusuma-atmaja, 2002 : 26)
1.         Negara-negara ASEAN termasuk Australia dan kini Timor Leste.
2.         Negara-negara yang berepentingan terhadap usaha perikanan laut.
3.         Negara-negara maritim yang memiliki armada angkutan niaga besar.
4.         Negara maritim besar—terutama negara adidaya—dalam rangka memcapai global strataegi.
            Tidak kalah penting adalah tantangan ke dalam yakni : mema-hami makna negara kepulauan, makna “benua maritim” (Zen, 2005), menghilangkan faham bahwa batas wilayah tidak lagi berdasarkan garis pantai atau “contour/coastline” base, tetapi atas dasar base line.



GEOPOLITIK DAN HUKUM KEWILAYAHAN

Hukum Laut dan Perkembangannya
            Perkembangan Sejarah hukum laut tidak lepas dari kemajuan teknologi maritim—perkapalan dan kepelabuhanan—Belanda dan Inggris serta orientasi komoditi perdagangan dunia (Simbolon, 1995).  Pasca Perang Sabil/Salib sampai dengan bagian akhir jaman pencerah-an (renaissance) laut praktis hanya menjadi milik Spanyol dan Portugal, sehingga ada semacam pembagian wilayah yuridiksi dari kedua negara tersebut.  Bagian akhir jaman pencerahan (renaissance), tekno-logi maritim Belanda dan Inggris melampaui Spanyol dan Portugal.  Oleh karena itu hukum laut banyak ditentukan oleh polemik bangsa Belanda dan Inggris.  
            Namun sebelum membahas polemik yang menghasilkan regim hukum laut, ada baiknya kita bahas lebih dahulu hakekat laut.  Hakekat laut adalah  :
1.       Bebas, merdeka dan bergerak serta relatif tetap dan tidak mudah dirusak.
2.       Datar dan terbuka, tidak dapat dipakai sembunyi.
3.       Tidak dapat dikuasai secara mutlak (tidak dapat dikapling, sulit diberi tanda).
4.       Media macam-macam alat angkut, terutama yang bervolume besar.
            Dari hakekat tersebut timbul falsafah hukum laut yang berbuntut pada perebutan wilayah laut, yakni :
1.       Res Nullius : Laut tidak ada yang memiliki, oleh karenanya dapat diambil dan dimiliki masing-masing negara.
2.       Res Communis : Laut milik masyarakat dunia, oleh karena itu tidak dapat diambil/dimiliki oleh masing-masing negara.
            Belanda dan Inggris merasa bahwa mereka tidak harus tunduk pada negara yang lebih “primitif”.  Oleh karena itu para ahli hukum dari kedua negara tersebut saling berpolemik mengeluarkan argumentasi ten-tang hak atas laut.
1.       Hugo Grotius, seorang ahli hukum internasional Belanda membe-rikan teori “Mare Liberum” (laut bebas).  Laut tidak dapat dikuasai suatu negara dengan jalan “okupasi” (menduduki), oleh karena itu laut menjadi bebas.
2.       John Selden, seorang Inggris seorang ahli hukum Inggris pada tahun 1635 menulis tentang hukum laut dengan judul, “Mare Clausum” (hak kuasai laut), sebagai jawaban atas teori Grotius.  Setiap negara dapat menguasai laut.
            Sebagai koreksi atas tulisan tersebut diatas, Grotius membuat argumen bahwa, laut wilayah dapat dimiliki sepanjang dapat dikuasai dari darat.  Ini berarti laut hanya milik negara pantai.  Selanjutnya Selden menginginkan adanya hak lintas damai bagi kapal-kapal dengan alasan untuk membeli suplai segar dari negara pantai
            Cornelis Bijenkershoek (seorang Belanda), berpendapat bahwa laut wilayah adalah 3 mil laut dari pantai pada saat pasang surut.  Ar-gumentasi ini didasari bahwa jangkauan meriam + 3 mil.  Ketentuan ini berlaku hingga tahun 1994 yaitu dengan adanya pengesahan melalui Sidang Umum PBB, yang merupakan tindak lanjut dari United Nations Convention on the Law of the Sea—dikenal UNCLOS 1982—berda-sarkan persetujuan 118 negara  di Montego Bay, Jamaica tahun 1982.
            Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Dekla-rasi tanggal 13 Desember 1957 mengajukan  NKRI perlu laut wilayah (territory water) selebar 12 mil laut dari Garis Pangkal/Garis Dasar (Base Line) atas dasar “Point to point theory”.  Dengan demikian laut antar pu-lau menjadi Perairan Pedalaman (internal waters).  Selanjutnya laut wilayah dan laut pedalaman dikenalkan sebagai laut Nusantara.
            Sebagai akibat konvensi hukum laut timbul bermacam tipe per-airan, hal ini tidak terlepas karena perhatian orang yang besar pada laut.  Untuk itu dibahas beberapa masalah yang menyangkut hukum laut :
1.       Laut Teritorial/Laut Wilayah (Territorial Sea) : wilayah laut yang le-barnya tidak melebihi 12 mil dari garis pangkal/garis dasar (base line).  Garis dasar adalah  garis yang menghubungkan titik-titik terluar pulau terluar.    
2.       Perairan Pedalaman (Internal waters) : wilayah laut sebelah dalam dari da-ratan/sebelah dalam dari GP.  Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh.
3.       Zona Tambahan (Contiguous Zone) :  wilayah laut yang lebarnya ti-dak boleh melebihi 12 mil dari Laut Teritorial, merupakan wilayah Negara Pantai untuk melakukan pengawasan pabean, fiskal, imi-grasi, sanitasi dalam wilayah laut territorial.
4.       Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) : wilayah laut yang  tidak melebihi 200 mil dari GP.  Negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploi-tasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati perairan.
5.       Landas Kontinen (Continental Shelf) : wilayah laut Negara Pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya, terletak di luar laut teritorial sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah.  Jarak 200 mil GP atau maksimal 350 mil, atau tidak melebihi 100 mil dari kedalaman 2.500 m.
6.       Laut Lepas (High Seas) dikenal pula sebagai laut bebas/laut Inter-nasional :  Wilayah laut > 200 mil  dari Garis Pangkal.
            Dengan adanya ketentuan di atas negara lain menuntut beberapa hak—yang sebenarnya adalah jaminan—dari negara kepulauan :
1.       Lintas :  berlayar/bernavigasi melalui laut territorial, termasuk masuk dan keluar perairan pedalaman untuk singgah di salah satu pelabuhan.
2.       Lintas Damai : bernavigasi melalui laut teritorial suatu negara sepanjang tidak merugikan kedamaian, ketertiban, atau keamananan negara yang bersangkutan.
3.       Lintas Transit : bernavigasi melintasi pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara laut lepas/ZEE yang satu dan laut lepas/ZEE yang lain.
4.       Alur Laut Kepulauan :
a.             Alur yang ditentukan oleh Negara Kepulauan untuk alur laut dan jalur penerbangan diatasnya yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat terbang asing.
b.             Alur ditentukan dengan merangkai garis sumbu pada peta, kapal dan pesawat terbang tidak boleh melintas lebih dari 25 mil kiri/kanan dari garis sumbu
5.   Laut Lepas :
a.       semua bagian laut yang tak termasuk laut territorial, perairan pedalaman maupun ZEE.
b.       laut terbuka untuk semua negara baik berpantai maupun tidak berpantai.
c.       dalam laut lepas semua negara berhak berlayar, terbang, riset ilmiah dan menangkap ikan.

Beberapa Perhatian Manusia Terhadap Laut
1.       Perubahan peta bumi pasca Perang Dunia II telah lahir banyak nega-ra nasional baru yang miliki laut.
a.       laut untuk kelangsungan hidup bangsa dan kesejahteraan rakyat.
b.       perlu pengaturan bersama pemanfaatan laut dan lingkungan un-tuk bangsa-bangsa.
2.    Kemajuan Teknologi berdampak pada meningkatnya kemampuan manusia memanfaatkan laut
3.  Bertambahnya jumlah penduduk, harus diimbangi dengan kenaikan produksi, khususnya dari sumber kekayaan laut.
4.  Bagi bangsa Indonesia, laut untuk menjamin integrasi, sarana perhu-bungan dan transportasi, menjadi salah satu sumber penghidupan, serta ditinjau dari segi militer merupakan wahana pertahanan.

Hukum Dirgantara dan Perkembangannya
            Ruang dirgantara dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ruang Udara dan Ruang Antariksa. Ruang udara berada di atas suatu wilayah Negara dikatagorikan sebagai ruang Udara Nasional atau wilayah kedaulatan Negara kolong, yang pemanfaatannya dikendalikan oleh Negara tersebut. Adapun Ruang Antariksa pe-manfaatannya diken-dalikan secara internasional dan tidak boleh dijadikan subyek negara kolong.
            Beberapa teori yang menjadi polemik para hukum adalah :
1.      Teori Udara Bebas (Air Freedom Theory).  Bahwa ruang udara be-bas, dapat digunakan siapa saja, timbul perbedaan persepsi : kebebasan udara tanpa ba-tas dan kebebasan udara terbatas.
2.      Teori Negara Berdaulat di Udara (Air Sovereignty Theory).  Bahwa Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas keatas, timbul perbedaan persepsi : kedaulatan negara kolong dibatasi oleh ketinggian ter-tentu, negara kolong berda-ulat penuh tetapi dibatasi oleh hak lintas damai.
3.      Masalah Ketinggian.  Sampai kini masih belum ada kesepakatan (1910) ditentukan + 500 km.  Teori Penguasaan Cooper, bahwa batas ketinggian ditentukan kemampuan teknologi masing-masing negara.   Sedangkan Teori Udara Schacter, bahwa ketinggian s/d 30 km atau s/d balon dan pesawat terbang dapat mengapung dan diterbangkan.
4.      Batas Wilayah Udara.  Cara menentukan wilayah udara ada perbe-daan yaitu : apabila ditarik garis tegak lurus dari permukaan bumi keatas, luas daratan dan lautan = luas udara, ada daerah yang lowong dan dapat menimbulkan masalah. Disepakati menarik garis dari “pusat bumi” sampai batas ruang angkasa/antariksa membentuk kerucut terbalik.  Oleh karenanya luas daerah udara lebih luas dari-pada luas daratan dan lautan.
5.      Perjanjian Ruang Antariksa (Space Treaty) 1967 menyepakati :
Penggunaan damai bagi antariksa.  Antarariksa dan benda-bendanya menjadi wilayah internasional.  Namun dalam perjanjian ini juga berlaku pemanfaatan ruang antariksa berdasarkan “first come, first serve” yang merugikan negara sedang berkembang. Indonesia memi-liki ruang dirgantara yang luas, apalagi di bawah Khatulistiwa yang memiliki jalur GSO. Sementara batas ruang udara dan ruang anta-riksa ditetapkan 100/110 km.
            Seperti halnya dengan hukum laut Indonesia juga menuntut perla-kuan yang sama seperti hukum laut.  Dalam hal ini Indonesia menuntut berlakunya kedaulatan Negara kolong terhadap ruang Dirgantara. Paling sedikit tujuan yang ingin dicapai ialah ruang udara Indonesia sebagai wilayah udara (air souverignty) nasional dan ruang antariksa Indonesia sebagai wilayah kepentingan  (air juridiction) yang diperlakukan serupa dengan ZEE atau landas kontinen, yang meliputi pemanfaatan wilayah Geo-stationary Satelite Orbit (GSO), Medium Earth Orbit (MEO), Low Earth Orbit (LEO).

Geo Stationary Satellite Orbit (GSO)
            Geostationary satelit orbit adalah suatu orbit yang berbentuk cincin terletak pada enam radian bumi di atas garis khatulistiwa.  GSO untuk menempatkan satelit komunikasi agar satelit tersebut berada pada posisi tetap di ruang angkasa terhadap bumi.  Ketinggian GSO + 36.000 km di atas permukaan bumi.  Tiga keunikannya  :
1.       GSO hanya pada padang khatulistiwa, ruas GSO ada di negara khatulistiwa.
2.       Ukuran terbatas :  tebal + 30 km dan lebar 150 km.
3.       Satelit pada orbit ini akan mengelilingi bumi dari barat ke timur dengan masa orbit + 24 jam (23 jam, 56 menit, 4 detik).
Panjang garis khatulistiwa Indonesia 6.110 km, GSO Indonesia 9.997 km atau 12,5 % keliling GSO.   GSO menjadi Sumber daya alam terbatas

Wilayah Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia
1.       Masa Penjajahan  (Belanda dan Jepang).
      Dasar :  Ordonansi Laut Teritur dan Lingkungan Maritim no 442/1939 (Territoriale Zee en Maritiem Kringen Ordonantie no. 442/1939)
       Ukuran : 3 mil dari garis pantai pada saat pasang surut (low water)
       Luas Wilayah       :   2 juta km2
2.       Setelah Proklamasi s/d 13 Desember 1957
      Dasar         :  Ketentuan Peralihan UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950, tetap berlaku Ordonansi no 442/1939.
3.       Deklarasi Pemerintah R.I. tanggal 13 Desember 1957 (Deklarasi Juanda)
      Dasar         :  Pengumuman Pemerintah RI tanggal 13 Desember 1957
                           PEPERPU no 4/1960 tentang Perairan Indonesia
       Ukuran     :  12 mil dari garis pangkal (point to point theory)
       Luas Wilayah       :  bertambah + 3,9 juta km2, menjadi 5,9 juta km2
4.       Deklarasi Pemerintah R.I. tanggal 17 Februari 1969 (Landas Kontingen)
       Dasar        :  Deklarasi Pemerintah RI tanggal 17 Februari 1969
                           UU no 1/1973 tentang Landas Kontingen
       Luas Wilayah :  Bertambah + 0,8 juta km2, menjadi + 6,7 juta km2
5.       Pengumuman Pemerintah R.Itahun 1980 (Zona Ekonomi Eksklusif)
      Dasar :  Pengumuman Pemerintah tentang Zone Ekonomi Eksklusif
                   UU no 5/1983 tentang Zone Ekonomi Ekslusif (Pembenahan           Kekayaan Alam dan Potensi Alam)
     Luas Wilayah :  Bertambah + 2,5 juta km2, menjadi + 9,2 juta km2


GEOPOLITIK DAN OTONOMI DAERAH
Latar Belakang
            Sentralisasi pelayanan dan pembinaan kepada rakyat tidak mungkin dilakukan dari Pusat saja.  Oleh karenanya wilayah negara dibagi atas daerah besar dan daerah kecil.  Untuk keperluan tersebut diperlukan asas dalam mengelola daerah, yang meliputi :
1.   Desentralisasi pelayanan rakyat/publik.  Dan filsafat yang dianut adalah : Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang harus dila-yanani.  Desentralisasi merupakan power sharing (otonomi formal dan otonomi material).  Otonomi daerah bertujuan untuk memu-dahkan pelayanan kepada rakyat/publik.  Oleh karena outputnya hendaknya berupa pemenuhan bahan kebutuhan pokok rakyat—public goods—dan peraturan daerah—public regulation—agar tertib dan adanya kepastian hukum.  Kebijakan desentralisasi : tujuan politis dan tujuan administrasi, namun tujuan utamanya adalah pela-yanan kepada rakyat/publik.
2.  Dekonsentrasi : diselenggarakan, karena tidak semua tugas-tugas tek-nis pelayanan kepada rakyat dapat diselenggarakan dengan baik oleh Pemerintah Daerah (kabupaten/kota). Dekonsentrasi : fungsional (kanwil/kandep) dan terintegrasi (kepala wilayah).
            Pada kenyataannya otonomi daerah di Indonesia secara luas ti-dak/belum pernah terlaksana.  Sejah masa penjajahan Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan otonomi masih dalam bentuk dekonsentrasi.

Pembagian Daerah
            Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah (ps 2 UU no 32/ 2004).  Pemerintah provinsi yang berbatasan dengan laut memiliki kewe-nangan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan (ps 18 ayat (4) UU no 32/2004). Asas ini bertentangan Deklarasi Pemerintah R.I dan telah dikukuhkan melalui UNCLOS serta telah diratifikasi dengan UU no 6/1996 ttg Perairan Indonesia.
            Yang patut diwaspadai bahwa semangat otonomi tidak menjurus pada semangat pembentukan daerah berdasarkan etnik atau sub kultur.  Masa penjajahan Belanda wilayah kita terbagai atas dasar pembagaian sub kultur dengan dibentuknya daerah Karesidenan.  Yang selanjutnya terbagi habis menjadi : Provinsi, Karesidenan, Kabupaten/Kota, Kawe-danaan, dan Kecamatan.  
            Globalisasi yang meyebabkan adanya global Paradox (Naisbit, 1987 : 55) jangan sampai menyemangati pemekaran wilayah atas atas dasar pendekatan kebudayaan sehingga menimbulkan benturan budaya yang berakibat pecahnya negara nasional (Huntington, 1996 : 100).  Oleh karena itu kita perlu perhatian khusus pada wilayah yang dilalui Alur Laut Kepulauan—Riau, Resiau Kepulauan, Kalimantan Barat, Bangka-Belitung, Banten, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Pulau Lombok serta Maluku, Maluku Utara—yang beberapa saat lalu hingga kini tetap ber-gejolak, baik yang berupa konflik fisik maupun konflik non fisik (kei-nginan memisahkan diri dengan membentuk provinsi baru).

Pembagian Kewenangan (UU no 32/2004 ttg Pemerintahan Daerah)
1.       Kewenangan Pemerintah (ps 10 ayat (3)) :
a.       politik luar negeri;
b.       pertahanan;
c.       keamanan;
d.      yustisi;
e.       moneter dan fiskal nasional; dan
f.        agama
  2.   Kewenangan Wajib Pemerintah Daerah Provinsi (ps 13)
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunanan
b.       perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.       penanganan bidang kesehatan;
f.        penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya masusia potensial;
g.       penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.       pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i.         fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kbupaten/kota;
j.         pengendalian lingkungan hidup;
k.       pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.         pelayanan kependudukan, dan pencatatan sipil;
m.     pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.     pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabu-paten/ kota;
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat di-laksanakan oleh kabupaten/kota; dan
p.       urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perun-dang-undangan.
 3. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota (pada dasar-nya sama namun dalam skala kabupaten/kota, ps 14) :
a.  perencanaan dan pengendalian pembangunanan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.  penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d.  penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.  penanganan bidang kesehatan;
f.   penyelenggaraan pendidikan;
g.  penanggulangan masalah sosial;
h.  pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.   fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j.   pengendalian lingkungan hidup;
k.  pelayanan pertanahan;
l.    pelayanan kependudukan, dan pencatatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.  pelayanan administrasi penanaman modal;
o.  penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perun-dang-undangan.                                                       
4. Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya di wilayah laut meliputi (ps 18):
a.  eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan laut;
b.  pengaturan administrasi;
c.  pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturn yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahklan kewenganannya oleh Pemerintah;
e. ikut serta pemeliharaan keamanan; dan
f.  ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Sedangkan batas wilayahnya adalah paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai kerah laut lepas dan 1/3 nya menjadi kewengan daerah ka-bupaten/kota.

Sumber Penerimaan Pelaksanaan Desentralisasi
            Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah diperlukan dana, namun tidak semua daerah mampu mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan.  Oleh karenanya Pemerintah harus mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat.  Agar adil dan merata diperlukan aturan yang baku.  Dari ketentuan tersebut dikeluarkan beberapa istilah tentang dana untuk keperluan pembinaan wilayah :
1. Pendapatan Asli Daerah :
a.   pajak daerah;
b.   retribusi daerah;
c.    hasil pengelolaan kekayaan daerah;
d.  lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
2. Dana Perimbangan Daerah terdiri atas :
a.   Dana bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam.
b.   Dana alokasi umum
c.   Dana alokasi khusus
3. Pinjaman Daerah, daerah dapat meminjam dari dalam negeri dan luar negeri (melalui Pemerintah Pusat), dengan persetujuan DPRD.
4.  Lain-lain penerimaan yang sah termasuk Dana Darurat, berasal dari Pinjaman APBN.

Daerah Frontier
            Banyak pimpinan daerah—politisi dan pejabat—daerah yang ti-dak menyadari dan mendalami makna filosofi otonomi daerah, sehingga ada wilayah yang terpecil bahkan terisolasi pada era globalisasi.  Me-reka sering mengabaikan daerah “hinterland”, namun apabila hinterland ini berada di tapal batas—batas resmi, yang dikukuhkan melalui per-janjian internasional—dengan negara jiran daerah ini merupakan daerah “frontier”.  Daerah frontier terbentuk karena sifat manusia yang saling tergantung, baik dengan manusia maupun alam sehingga terjadi sim-biose.  Kehidupan masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara jiran menjadi saling pengaruh mempengaruhi.  Sebagai akibatnya terjadi pergeseran batas negara secara imajiner.
    Daerah frontier (Sunardi, 2004 : 151) terjadi a. l. :
1.   Dorongan ekonomi, berupa kemudahan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
2.  Dorongan sosial budaya, berupa kesamaan sub-kultur (suku) dan kemudahan mendapatkan fasilitas perlindungan masa depan (seko-lah, kesehatan/social security).
3.   Dorongan politik, antara lain adanya kepastian hukum dan tidak me-nutup kemungkinan menuntut adanya referendum.
Kemudahan di negeri jiran dapat mendorong perbuatan kriminal yang berupa a.l : pencurian kayu, penyelundupan barang dan orang, peng-geseran patok batas, penjualan pasir di pulau terluar dan lain sebagainya.
      Pembinaan wilayah frontier laut hendaknya mendapat prioritas mengingat banyak pulau-pulau sepanjang perbatasan yang rawan untuk dikuasai negara tetangga.  Dari 91 pulau yang menjadi titik batas (point) ada 12 pulau yang rawan diserobot oleh negara lain baik melalui akupasi diam-diam (silent occupation) maupun melalui penetrasi budaya dan ekonomi.  Untuk itu perlu berdirinya jawatan pencatatan pulau/pantai yang dikenal sebagai Marine Cadastre.   
  Dengan adanya Marine Cadastre dengan upaya pro aktif, diharap-kan kita mampu menginventarisasi jumlah pulau lengkap dengan tata letak (koordinat pada peta laut), konfigurasi—luas, letak, ciri flora dan fauna—sehingga ) kita akan mudah mendaftarkan ke PBB di New York.  Keuntungan yg didapat antara lain :
1. Dapat menuntut hak (claim) atas pulau tersebut di wilayh Indonesia apabila diduki secara diam-diam oleh negara tetangga.
2.   Jangan sampai kita kehilangan pulau tetapi tidak tahu apa/pulau mana yang hilang.
3. Memberikan batas wewenang kepada daerah otonom batas laut ber-dasarkan koordinat tidak berdasarkan perkiraan seperti sekarang ini yang berakibat  pada konflik di kalangan rakyat.

Rencana Tata Ruang Wilayah
            Berkaitan dengan diundangkannya UU no 32/2004 perlu ditinjau kembali rencana tata ruang wilayah (RTRW), baik provinsi maupun kabupaten dan kota.  Pada saat mengacu UU no. 22/1999 ttg Peme-rintahan Daerah, RTRW Provinsi sudah sesuai, dan telah menjadi Perda. Namun RTRW Kabupaten dan Kota masih dibawah 50 % yang telah menjadi Perda (dikukuhkan).  Dengan diundangkannya UU no. 32/2004, ternyata perlu mengubah RTRW. Pengubahan RTRW hendaknya meng-acu pada Kepentingan Nasional, tidak hanya mengacu pada kepentingan daerah semata (UU no. 24/1992).  Oleh karena itu perlu standarisasi penataan ruang, dan sudah barang tentu mengacu pada asas negara kepulauan.  Selama ini sering RTRW lebih berorientasi pada negara kontinen, sehingga upaya pembenahan pantai kurang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup.  Kurangnya pemahaman akan makna hakekat negara nusantara menyebabkan meningkatnya kerusakan lingkungan tidak saja di darat tetapi di daerah maritim.  Reklamasi pantai utara DKI Jakarta dengan menebang hutan bakau menimbulkan banjir yang tidak saja di DKI Jakarta tetapi juga provinsi lain. 
            Kasus yang sekarang masih terkatung-katung hingga kini adalah masih adanya limbah B-3 dari Singapura yang dionggokkan di pulau-pulau Provinsi Ke-pulauan Riau.  Pulau-pulau tempat teronggokannya limbah B-3 ternyata belum terencana peruntukannya oleh Pemerintah, baik pusat maupun daerah.   Masuknya limbah B-3 sebagai barang im-port menandakan bahwa kita masih belum—mungkin tidak—tahu akan bahaya limbah B-3 yang dimasukkan sebagai pupuk untuk pertanian.  Kerusakan lingkungan pada pulau-pulau yang tidak berpenghuni pada gilirannya akan merugikan kita. 
          Dari gambaran tersebut diatas, jelaslah bahwa kita sering mengabaikan baku mutu lingkungan, terabaikannya salah satu sektor.  Wajib memiliki analisa dampak lingkungan (amdal) sering terabaikan karena kurang disadari oleh para pejabat di daerah.  Padahal kita hen-daknya mengacu pada filsafat yang mendasarinya yaitu :
1. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras dan berkelanjutan.
2.  Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Dengan menyadari akan filsofi ini maka akan didapat hal-hal a.l. :
1.  Tercapai kelestarian, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan alam.
2. Terwujud manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang miliki sikap untuk melindungi dan membina lingkungan hidup.
3.   Terjamin generasi masa kini dan generasi masa depan.
4.   Tercapai kelestarian lingkungan hidup.
5.  Terkendali pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.
6.  Terlindung NKRI terhadap dampak usaha kegiatan di luar wilayah NKRI yang menyebabkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Oleh karena itu penyusunan RTRW perlu benar-benar terpadu.

Pendaftaran Wilayah Maritim (Marine cadaster)
        Tanah Air Indonesia memiliki sebanyak 17.504 pulau dan yang bernama hanya 5.703 pulau dan sisanya sebanyak 11.801 belum bernama (Data Mabes TNI, 2005).  Sebagai akibatnya dokumentasi nasional ten-tang konfigurasi kepulauan kita tidak jelas bahkan gelap.  Ini juga dise-babkan kurangnya perhatian pengambil kebijaksanaan—negarawan dan politisi, serta para pemimpin non formal—di negeri ini.  Sebagai akibat-nya banyak pulau-kita yang hilang—dituntut kepemilikan oleh negara jiran maupun kerusakan oleh alam dan manusia Indonesia—yang kita tidak ketahui.    
      Untuk itu perlu berdirinya jawatan pencatatan pulau/pantai yang dikenal sebagai Marine Cadastre. Adanya Marine Cadastre dengan upaya pro aktif, diharapkan kita mampu menginventarisasi jumlah pulau lengkap dengan tata letak (koordinat pada peta laut), konfigurasi—luas, letak, ciri flora dan fauna—sehingga ) kita akan mudah mendaftarkan ke PBB di New York.  Keuntungan yg didapat antara lain :
1. Dapat menuntut hak (claim) atas pulau tersebut di wilayh Indonesia apabila diduduki secara diam-diam oleh negara tetangga.
2.  Jangan sampai kita kehilangan pulau tetapi tidak tahu apa/pulau mana yang hilang.
3. Memberikan batas wewenang kepada daerah otonom batas laut ber-dasarkan koordinat tidak berdasarkan perkiraan seperti sekarang ini yang berakibat  pada konflik di kalangan rakyat.

Upaya Menghadapi Geopolitik dan Geostrategi Negara Jiran 
 Menghadapi ASEAN dan Australia tindakan kita paling tidak :
1. Mewaspadai “silent occupation” dengan pemantapan pembinaan ke-kuatan maritim.
2. Menghadapi Australia dengan proyek Australia Maritime Identi-fication Zone (AMIZ), kita harus segera mengidentifikasikan pulau-pulau yang tersebar lauas.
3. Menghadapi Malaysia dan Singapura dengan kekerasan perlu me-waspadai adanya “Five Power Defence Agreement” yang masih berlaku.
4.Tentunya kunjungan Presiden dan Wakil Presiden keperbatasan akan meningkatkan rasa nasionalisme rakyat.
    Menghadapi Negara Yang Berkepentingan dengan Perikatan :
1. Meningkatkan kemampuan nelayan dari nelayan pantai menjadi nelayan laut, nelayan belajar membaca peta laut dan menggunakan peralatan navigasi lebih baik.
2.  Pembangunan desa pantai, yang diisi oleh keluarga nelayan/pelaut tidak seperti sekarang ini yang masih dibangun oleh petani gunung.
3. Nelayan dijadikan monitor terhadap pengganggu negara terhadap pencurian ikan, pencemaran lingkungan dan perusakan alat navigasi laut.
            Menghadapi Negara yang memilik armada angkutan laut besar yang ingin tetap berperan dalam era globalisasi :
1. Penambahan ALKI sesuai dengan permintaan International Maritime Organization tetap ditolak karena pada hakekatnya membuat wilayah kita terbuka sehingga merupakan contra productive dari Deklarasi Juanda.
2. ALKI perlu diinforemasikanb lebih intensif kepada masyarakat ma-ritim Indonesia, dengan ditindak lanjuti proaktif pengawasan.
            Menghadapi negara adi daya yang sejak semula menentang negara nusantara hendaknya kita tetap menolak penambahan ALKI.  Penambahan ALKI dapat berakita wilayah kita terbuka kembali.  Laut Nusantara menjad high seas.




Lampiran :

Studi Kasus “A” Pencurian Kayu

Sasaran Pembelajaran :
            Mahasiswa mampu menjelaskan dengan pikiran logis mengenai masalah pencurian kayu berkaitan dengan ajaran Geopolitik Indonesia (Wawasan Nusantara), Geostrategi Indonesia (Ketahanan Nasional), Pem-bangunan Nasional/Pembangunan Berkelanjutan, masalah konservasi sum-ber daya alam dan lingkungan.

Ketika Tenda Biru Bermunculan.
Ada pemandangan unik di sepanjang sungai kapuas (Kalimantan) sekarang ini. Kayu-kayu gelondongan yang jumlahnya 200-300 batang dijalin menyerupai rakit raksasa sehingga memenuhi pinggiran sungai. Lalu lintas sungai menjadi agak terganggu karena rakit tersebut panjang-nya dapat lebih dari 100 meter dengan lebar lebih dari 25 meter.
            Rakit tersebut ditarik kapal dari bagian hulu ke bagian hilir selama berhari-hari.  Di tengah rakit raksasa ada bangunan sederhana terbuat dari kayu.  Di tempat inilah pemilik kayu tinggal, beristirahat dan memasak saat menghanyutkan kayu.  Karena atap bangunan itu biasanya hanya ter-buat dari terpal plastik biru untuk menahan hujan, masyarakat menye-butnya tenda biru.  Tenda biru itu bermunculan saat musim hujan, ketika air sungai sedang deras.  Saat itu paling baik menghanyutkan kayu.  Musim kemarau untuk menebang kayu sebanyak-banyaknya dan musim peng-hujan untuk mengangkut kayu-kayu tersebut.  Kayu hasil tebang liar ma-syarakat dilakukan di bagian hulu sungai yang sulit dijangkau. Hasil penebangan perorangan dikumpulkan menjadi lebih dari 20 penebang, kemudian diikat menjadi satu agar tak tercerai berai saat melintasi arus sungai yang deras.  
            Namun pembalakan hutan (penebangan liar) yang sangat meru-gikan kita apabila terjadi di daerah frontier.   Frontier—yang terbentuk karena tidak cukup perhatian pemerintah pada daerah asimilasi dan tidak ada sarana sirkulasi yang cukup (Sunardi, 2004 : 162)—di wilayah kita diperparah dengan rusaknya patok perbatasan karena diterjang oleh kayu ilegal, yang didorongkan ke arah negara jiran.  Patok-patok perbatasan an-tara Indonesia—Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur—dengan Ma-laysia Timur—Serawak dan Sabah—sepanjang 2004 km serta hanya ada 30 pos penjagaan TNI AD, bergeser sekitar 600 m ke arah Indonesia (di Kalbar).  Pergeseran patok batas resmi (boundary) tidak mustahil terjadi karena kekurang sadaran masyarakat kita akan pentingnya ruang hidup.
            Penebangan kayu ini patut dicurigai legalistasnya. Ijin hak peman-faatan hasil hutan sudah dicabut dua tahun lalu oleh Pemerintah (pusat). Kalau kayu masih bagus berarti kayu itu hasil tebangan ilegal, menurut versi Pemerintah.  Namun tidak mustahil menjadi legal karena direstui oleh Pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten).  Tentunya ini sangat berkait-an erat dengan “semangat” pemanfaatan UU no 32/2004 ttg Pemerintah Daerah dan UU no 33/2004. tentang Perimbangan Keuangan antara Peme-rintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.   Dan apabila sinyalemen ini benar, kiranya kita perlu meninjau pula Rencana Tata Ruang Wilayah. Dengan demikian semua orang akan menikmati kegunaan ruang, sehingga tidak tumpang tindih serta adanya kedamaian antar golongan.
            Bagaimana pandangan anda terhadap masalah di atas?    Posisikan diri anda sebagai orang yang diminta untuk memberikan saran dalam upaya mengatasi masalah tersebut.

 Studi Kasus “B” Pemilihan Kepala Daerah Langsung
           
Sasaran Pembelajaran :
Mahasiswa mampu menjelaskan dengan pemikiran yang logis mengenai masalah otonomi daerah berkaitan dengan wilayah sebagai ruang hidup, upaya bela negara, pembangunan nasional, sumber daya alam dan ling-kungan.

Pemilihan Kepala Daerah dan Upaya Mencegah Dis-integrasi

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan da-erah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota serta diberikan otonomi (ps 18 UUD ’45 amandemen IV).  Otonomi daerah ber-arti daerah menerima hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk meng-urus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundangan yang berlaku. Otonomi daerah berarti, pemerintah—provinsi, kabupaten dan kota—harus  me-layani rakyat karena pemerintah pusat tidak mampu melayani daerah yang jauh dan terpencil.  Otonomi daerah merupakan power sharing (pem-bagian kewenangan) antara Pusat-Daerah.  Secara politis bertujuan ad-ministrasi yang terpadu dan harmonis sehingga dapat melayani rakyat dengan baik dan benar.        
Daerah yang berbatasan dengan laut memiliki wewenang untuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut serta pengaturan administrasi dan tata ruang di laut. Luas wilayah laut daerah kabupaten dan kota adalah sepertiga luas wilayah laut provinsi atau negara dihitung dari garis pantai (UU no 32/2004, ps 18).  Ini akan menimbulkan kesulitan menentukan batas wilayah di laut, apalagi semua UU ttg provinsi maupun kabupaten/kota tidak secara tegas menunjukkan titik-titik koor-dinatnya.  Apalagi sifat laut yang bebas, dan bergerak serta dinamis.
Untuk membiayai otonomi Pemerintahan Daerah bersumber pada pendapatan asli daerah (PAD) antara lain, pajak daerah, retribusi daerah dan pengelolaan kekayaan daerah. Pendapatan lain berasal dari perim-bangan keuangan pusat dan daerah serta pinjaman daerah dan perusahaan daerah (UU no. 33/2004, BAB IV s/d BAB VI) 
Sehungan hal tersebut ada kecenderungan beberapa kabupaten yang kaya sumber daya alamnya ingin berotonomi—membentuk provinsi baru—dengan dalih pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah terutama di sepanjang Alur Laut Kepulauan Indonesia perlu disimak, mengingat daerah-daerah tersebut menjadi rawan konflik (Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Riau dan Kepulauan Riau).  Keinginan yang ter-kandung—bila kita simak—adalah membentuk wilayah sub etnis.    
Dengan kewenangan daerah yang semakin luas maka jabatan Kepala Daerah men-jadi ajang rebutan.   Pemilihan kepala daerah secara langsung yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah—merupakan lembaga independen—sangat baik untuk pendidikan politik rakyat, namun malah banyak menimbulkan konflik.   Dengan adanya kecenderungan ini banyak orang yang meninggalkan budaya malu untuk memperebutkan kedudukan Kepala Daerah maupun pejabat di daerah. Setelah memperoleh kedudukan mereka akan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan lagi dampak negatif bagi anak cucunya.  Mereka kadang lupa untuk membina daerah perbatasan—frontier—dan tidak mustahil akan merugikan negara.  Sedangkan tujuan otonomi daerah untuk membangun masyarakat yang mandiri dan berbudaya.  Yang terjadi malahan timbulnya penguasa-penguasa kecil di daerah yang menguras sumber daya alam dan menimbulkan konflik dengan pemerintah pusat maupun dengan sesama pemerintah daerah.  Misalnya, konflik batas laut antar daerah, batas daratan dan lain sebagainya.
            Bagaimana pandangan anda terhadap masalah di atas?   Posisikan diri anda sebagai orang yang diminta untuk memberikan saran dalam upaya mengatasi masalah tersebut.

Referensi :

6 komentar:

Blogger Template by Clairvo