JUMLAH CALEG DPR DARI 12 PARTAI

Saya berulang kali mencari angka pasti total caleg di semua tingkatan pemilu untuk 532 lembaga legislatif se-Indonesia (terdiri atas 1 lembaga DPR, 1 DPD, 34 DPRD Provinsi, dan 497 DPRD Kab/Kota). Tapi tidak ada satu pun yang mempunyai data lengkap.
Yang paling banyak dimuat media adalah data untuk jumlah caleg DPR dan DPD. Harap maklum, semua media nasional berkumpul di ibukota, kecuali Jawa Pos, sehingga tidak ada yang memiliki basis data di daerah. Untuk lembaga legislatif tingkat nasional, terdata ada 6.608 caleg yang bertarung di DPR RI dan 945 caleg DPD RI.
Lativa, salah seorang pengelola jariungu.com, juga mengaku kesulitan mengumpulkan data semua caleg untuk dimuat di websitenya. “Harus satu per satu dikumpulkan mas ke masing-masing KPU daerah,” akunya saat menjelaskan bagaimana timnya menyusun data caleg sebagai bagian dari edukasi pemilih jelang Pemilu 2014.
Jadi, untuk menebak berapa orang caleg yang gagal alias tidak terpilih juga tidak mudah didapat angkanya.
Tapi saya mencoba membuat sebuah kalkulasi jumlah caleg yang ikut berkompetisi dan jumlah caleg yang kalah dalam kompetisi 9 April lalu. Dengan berpatokan pada kisaran 200 ribu caleg seperti disebut ketua KPU Husni Kamil Manik kepada media.
DPR RI
Untuk tingkat DPR RI, terdapat 6.608 caleg dari 12 partai nasional yang memperebutkan 560 kursi  di 77 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia. Di setiap Dapil, tersedia 3-10 kursi yang diperebutkan.
Jadi, total caleg yang gagal bermukim di Senayan sebanyak 6.048 orang.
DPD RI
Di tingkat DPD, terdapat 945 caleg individual yang memperebutkan 132 kursi  di 33 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia. Untuk DPD, hitungan kursi di setiap dapil lebih praktis, karena masing-masing mendapatkan 4 kursi.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPD RI sebanyak 813 orang.
DPRD Provinsi
Untuk tingkat DPRD I atau DPRD Provinsi, pemilu diadakan di 259 Daerah Pemilihan, memperebutkan 2.112 kursi di 33 lembaga DPRD I. Jumlah wakil rakyat di setiap lembaga bervariasi, ada yang berisi 35 kursi, ada yang sampai 100 kursi. Jumlah kursi per Dapil yang tersedia berkisar antara 3 sampai 12 kursi.
Dengan asumsi setiap partai nasional mengirimkan 7 orang caleg di setiap dapil, maka jumlah caleg yang bertarung sebanyak 21.756. Partai lokal Aceh tidak saya masukkan, karena sebaran calegnya hanya ada di Dapil Aceh.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPRD I sebanyak 19.644 orang.
Sebenarnya, saat ini Indonesia memiliki 34 provinsi. Tapi berhubung provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sebagai provinsi paling muda masih baru, pelaksanaan pemilu dan hasilnya masih dilakukan di provinsi induknya, Kalimantan Timur (Kaltim).
DPRD Kab/Kota
Lalu untuk DPRD II atau tingkat Kabupaten/Kota, pemilu diadakan di 2.102 Daerah Pemilihan, memperebutkan 16.895 kursi di 497 lembaga DPRD II. Jumlah wakil rakyat di setiap lembaga bervariasi, ada yang berisi 20 kursi, ada yang sampai 50 kursi. Jumlah kursi per Dapil yang tersedia berkisar antara 3 sampai 12 kursi.
Dengan asumsi setiap partai nasional mengirimkan 7 orang caleg di setiap dapil, maka jumlah caleg yang bertarung sebanyak 176.568. Partai lokal Aceh tidak saya masukkan, karena sebaran calegnya hanya ada di Dapil Aceh.
Referensi :

0 komentar:

JUMLAH KURSI YANG DIPEREBUTKAN DI DPR

        Proses demokrasi di Indonesia selalu berlangsung semarak terutama saat Pemilihan Umum. Salahsatu buktinya terlihat dari banyaknya jumlah caleg dan kursi yang diperebutkan dalam Pemilu 2014.
Ada tiga tingkatan pemilu legislatif yaitu DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara rinci, jumlah daerah pemilih di tingkat pusat DPR RI ada sebanyak 77 dapil dengan 560 kursi. DPD terdiri dari 33 dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan 132 kursi. DPRD provinsi ada 259 dapil dengan 2.112 kursi. Lalu terbanyak adalah DPRD Kabupaten Kota 2.102 dapil dengan 16.895 kursi.
“Maka yang diperebutkan (secara nasional) adalah 19.699 unit kursi di 2.471 daerah pemilihan,”
Referensi :

0 komentar:

ALAMAT DPP PARPOL , DPD 1 S/D 12 PARTAI

1. DPC PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (Partai NasDem)  Bulakerejo Rt 3 Rw 7 Sukoharjo
2. DPC PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB ) Jl. Jendral Sudirman No. 417B
3. DPD PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) Jl. Jendral Sudirman No. 421
4. DPC PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDIP) Jl.Tentara pelajar, Jombor, Bendosari
5. DPD PARTAI GOLKAR  Jl.Mayor Sunaryo No. 22 Sukoharjo
6. DPC PARTAI GERINDRA  Jl.Gatot Subroto Nomor 8 Madyorejo Rt 01/VII Jetis
7. DPD PARTAI DEMOKRAT Jl. Pemuda No. 70 Sukoharjo
8. DPD PARTAI AMANAT NASIONAL (PAN) Jl. Jend. Sudirman No. 298
9. DPC PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP)  Dompilan Rt 01 Rw 09,Sidorejo Jl.Jend Sudirman 419
10. DPC PARTAI HANURA  Jl. Tentara Pelajar No. 2 JomborIndah, Bendosari
11.  DPC PARTAI BULAN BINTANG (PBB)  Jl.  Gatot Subroto No. 15
12.  DPK PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA (PKPI) Jl. Raya Solo-Sukoharjo Km 7.8 Telukan, Grogol
     Referensi :

0 komentar:

KHUSUS ANGGOTA DPR & DPRD 1 YANG TERPILIH DAN JUMLAH CALEG PEREMPUANNYA

Persoalannya, menghadapi Pemilu 2014, bagaimana kita harus menyikapi hal tadi? Sebab, hal itu seharusnya bisa digunakan sebagai starting point dan media bagi perempuan untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik. Ataukah para perempuan perlu memikirkan media dan alternatif lain untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik, selain melalui kuota 30%?
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang umumnya, perempuan memang dipandang terlambat terlibat di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan senantiasa dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah di dunia politik. Padahal potensi modal politik kaum perempuan (termasuk di Indonesia) untuk melibatkan diri dalam dunia politik adalah besar.
Menurut Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebanyak 101.628.816 orang (51%) dari jumlah penduduk Indonesia. Ironisnya, jumlah perempuan yang ada pada posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan amat minim. Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8% hingga 11%. Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan politik bisa mencerminkan lebih dari 11% caleg perempuan, namun kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu.
Dengan kondisi itu bisa dimengerti bila keputusan-keputusan yang dibuat sangat maskulin dan kurang berperspektif gender. Perempuan tidak banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Perempuan lebih banyak sebagai “penikmat” keputusan. Padahal keputusan yang dihasilkan sering sangat bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan kian berkembang. Sebaliknya, lebih banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada sektor-sektor yang amat tidak strategis. Dalam jangka panjang, ini mengakibatkan posisi perempuan selalu berada pada posisi marjinal.
Salah satu argumen kaum feminis tentang minimnya jumlah perempuan yang terlibat dalam urusan politik ialah karena kendala struktural. Di antaranya berupa kebijakan dan regulasi pemerintah yang tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk aktif di ranah publik. Kendala struktural itu kemudian coba diatasi dengan menetapkan kuota perempuan dalam UU tentang Pemilu. Salah satu pasalnya menyebutkan, “Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Aturan ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menghapus kendala struktural yang mungkin membelenggu perempuan.
Dengan amanat pasal itu, ada semacam kewajiban bagi setiap parpol untuk menempatkan perempuan sebagai caleg. Setiap ada 3 nama yang diusulkan sebagai caleg, satu di antaranya harus perempuan. Dengan cara ini, diharapkan minimal sepertiga jumlah anggota DPR/DPRD yang terpilih adalah perempuan. Dengan begitu kebijakan-kebijakan yang dihasilkan, baik di pusat maupun daerah, akan lebih berpihak kepada kaum perempuan yang karena sifat dan kodratnya memang membutuhan perlakuan khusus.
Sayangnya, belajar dari sejarah, dalam proses pencalonan anggota legislatif untuk pemilu, banyak parpol yang tidak mampu memenuhi jumlah minimal caleg perempuan. Sebagai pelajaran ke depan, tentu kita harus melacaknya dengan cermat, mengapa itu terjadi? Faktor struktural jelas tidak bisa dijadikan “kambing hitam”, sebab sudah ada amanat salah satu pasal dalam UU tentang Pemilu. Yang bisa dijadikan “kambing hitam” hanyalah abu-abunya ketentuan pasal tadi, dalam arti tidak bersifat imperatif dan tidak disertai sanksi bagi parpol yang tidak menaatinya.
Faktor lain yang kemudian dijadikan argumen ialah faktor kultural. Selama ini, dunia politik dikonstruksikan secara keliru, yaitu sebagai arena adu kekuatan, tipu muslihat, perebutan kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan segala bentuk citra negatif lainnya. Dunia demikian memang menjadi asing bagi perempuan yang cenderung mengutamakan kehalusan, ketulusan, kedamaian dan ketentraman hidup. Banyak perempuan berpandangan, panggung politik bukanlah wilayah yang pantas dimasuki dan sebisa mungkin harus dihindari. Politik acap dianggap sebagai arena bermain bagi laki-laki untuk menempa eksistensi dan jati diri. Memang bagi kebanyakan orang (laki-laki), politik sebagai profesi adalah sesuatu yang amat menggairahkan. Tapi tidak demikian bagi para perempuan.
Faktor lainnya yang dapat digunakan untuk menjelaskan minimnya caleg perempuan ialah faktor intern parpol. Parpol belum siap mengajukan caleg perempuan yang kualified dan potensial. Sebab selama ini ada tradisi dalam struktur organisasi apapun untuk menempatkan perempuan cuma dalam bidang-bidang yang mengurusi bidang keperempuanan, seperti bendahara, bidang/urusan wanita, urusan sosial dan semacamnya, bukan pada posisi-posisi strategis.
Kondisi ini yang kemudian mendorong suatu parpol untuk mengajukan caleg perempuan “impor” atau “siluman”, yang bukan kader parpol bersangkutan dan sama sekali belum dikenal kader-kader parpol. Sementara mereka yang sudah lama mengabdi dan menjadi kader parpol, sama sekali tidak dilirik bahkan diabaikan. Inilah yang kemudian menuai protes agar caleg perempuan itu dibatalkan, seperti kasus yang pernah terjadi di DPD PDI-P DI Yogyakarta.
Itu ditambah faktor jual beli nomor urut daftar pencalonan. Bagi caleg perempuan potensial, faktor ini bisa jadi turut menentukan proses pencalonannya. Jika dia tidak mampu menyediakan sejumlah dana untuk posisi nomor pencalonannya, lebih-lebih untuk “nomor peci”, sudah bisa dipastikan tidak akan diajukan sebagai caleg.
Mencermati realita politik di atas, para aktivis perempuan sebaiknya memandang kuota 30% perempuan dalam parlemen sebagai suatu proses pendidikan politik. Dan ke depan, khususnya untuk menghadapi Pemilu 2014, rencana dan program perlu lebih diarahkan untuk melakukan pendidikan politik, baik kepada parpol, caleg maupun pemilih, terutama pemilih perempuan.
Pendidikan politik ini tidak cuma bertalian dengan hal-hal teknis dalam proses pemilu seperti memberikan informasi kepada pemilih, siapa yang berhak memilih, mekanisme pemilihan, tempat, tanggal dan waktu pemilihan, dan syarat-syarat registrasi. Namun juga bertalian dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakikat pemilu, di antaranya apa itu pemilu dan mengapa pemilu diadakan. Harus pula dijelaskan, pemilu memiliki implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan negara dan terciptanya good governance di masa depan. Yang diharapkan dari itu ialah munculnya kesadaran dan motivasi pemilih untuk berpartisipasi penuh dalam proses pemilu.
Dalam pendidikan politik itu juga perlu dijelaskan bagaimana menentukan pilihan parpol dan wakil legislatif. Dalam proses ini perlu ada gambaran jelas tentang profil parpol dan anggota legislatif yang diajukan parpol. Harus ada track record orang yang akan dipilih, terutama yang bertalian dengan persoalan korupsi dan keberpihakan kepada rakyat. Di sini perlu ditekankan agar dalam memilih dapat menggunakan pertimbangan rasional. Harus ada pertimbangan matang, mengapa memilih parpol ini atau itu, mengapa memilih si A atau B sebagai caleg, termasuk dalam memilih caleg perempuan. Jangan karena alasan agar kuota 30% perempuan terpenuhi, kita asal memilih caleg perempuan.
Agar pemilih lebih kritis, dalam proses pendidikan politik itu ada 3 tahap yang mesti dilakukan: (1) Tahap kodifikasi. Yaitu tahap menghadirkan fakta sosial ke dalam arena pendidikan politik, misalnya mempertanyakan apa fakta sosial atau persoalan krusial yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. (2) Tahap dekodifikasi. Yaitu tahap analisis atas persoalan atau fakta sosial, yakni mempertanyakan mengapa persoalan itu muncul. (3) Tahap praksis atau pemecahan masalah. Yaitu mempertanyakan bagaimana persoalan itu dapat dipecahkan dan bagaimana fungsi pemilu dalam upaya pemecahan masalah itu.
Dari semua itu, yang terpenting, proses pendidikan politik tersebut harus sensitif gender. Dengan strategi demikianlah kaum perempuan di Indonesia akan bisa menghadapi pemilu secara matang, terutama di Pemilu 2014. Semoga ini menjadi kesadaran bagi kaum perempuan.
Referensi :

0 komentar:

PENGERTIAN GEOPOLITIK BESERTA PERBATASAN WILAYAH INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA

Pengertian Geopolitik
Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu “geo” dan “politik“. Maka, Membicarakan pengertian geopolitik, tidak terlepas dari pembahasan mengenai masalah geografi dan politik. “Geo” artinya Bumi/Planet Bumi. Menurut Preston E. James, geografi mempersoalkan tata ruang, yaitu sistem dalam hal menempati suatu ruang di permukaan Bumi. Dengan demikian geografi bersangkut-paut dengan interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya. Sedangkan politik, selalu berhubungan dengan kekuasaan atau pemerintahan.
Dalam studi Hubungan Internasional, geopolitik merupakan suatu kajian yang melihat masalah/hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau lokal.
Dari beberapa pengertian di atas, pengertian geopolitik dapat lebih disederhanakan lagi. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada percaturan politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai 4 unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan.

Perbatasan Wilayah Indonesia dan Permasalahannya
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer dan memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini. Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil.
Sebelah utara Indonesia berbatasan dengan Malaysia yang berupa daratan di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Barat dan Timur. Selain batas darat, juga berbatasan laut dengan negara Singapura, Malaysia, Filipina. Di sebelah timur, berbatasan darat dan laut dengan Papua Nugini di Pulau Irian Jaya. Sebelah selatan berbatasan darat dengan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur dan berbatasan laut dengan Australia di Samudra Hindia. Di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia.
Masalah perbatasan wilayah Indonesia bukan lagi menjadi hal baru saat ini. Sejak Indonesia menjadi negara yang berdaulat, perbatasan sudah menjadi masalah yang bahkan belum menemukan titik terang sampai saat ini. Permasalahan yang paling sering muncul adalah sengketa perbatasan dengan negara tetangga yang berbatasan langsung dengan wilayah darat maupun wilayah laut Indonesia. Selain itu, masalah kesejahteraan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah perbatasan juga perlu diperhatikan.
Daerah perbatasan merupakan pintu masuk suatu negara, oleh sebab itu diperlukan perhatian lebih. Pembangunan dan juga fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, informasi dan sebagainya harus memadai. Masyarakat di daerah perbatasan harus lebih diperhatikan kebutuhannya, sehingga mereka tidak terisolir dari dunia luar.
Untuk menandai wilayah kedaulatan sebuah negara, juga dibutuhkan tanda batas yang jelas dan permanen. Tanpa tanda yang jelas, akan timbul permasalahan terutama dengan negara tetangga yang berbatasan langsung, baik batas darat maupun laut. Akan muncul kebingungan baik dari masyarakat dari negera kita dan negera tetangga. Hal ini memungkinkan terjadinya konflik antara kedua negara. Konflik tersebut bisa diselesaikan dengan jalan diplomasi. Namun bila tidak ditemukan pemecahan masalah yang tepat, bukan tidak mungkin akan menyebabkan timbulnya perang terbuka yang pasti tidak diharapkan oleh kedua belah pihak.
Namun, kenyataan di lapangan tidaklah sesuai dengan yang seharusnya. Berbagai masalah timbul karena kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap daerah perbatasan. Daerah perbatasan seolah dianaktirikan. Kita ambil contoh daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan. Banyak permasalah yang timbul di daerah perbatasan antara negara kita dengan negara tetangga kita yang sering disebut saudara serumpun tersebut.
Salah satu masalah yang sangat membutuhkan penyelesaian adalah masalah kesehatan. Seperti yang terjadi di Entikong, salah satu kecamatan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Kebersihan dan fasilitas kesehatan di daerah tersebut kurang memadai sehingga banyak menimbulkan berbagai macam penyakit yang menyebabkan kualitas sumber daya manusia rendah. Apalagi banyak tenaga medis yang enggan ditugaskan untuk mengabdi di daerah-daerah perbatasan yang terpencil itu. Hal ini disebabkan sulitnya medan yang ditembuh, transportasi yang terbatas, dan jarak tempuh yang jauh.
Untuk menanggulanginya memang bukan perkara mudah, diperlukan kerja keras dan waktu yang tidak sebentar. Perlu membangun kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dengan penyuluhan tentang sanitasi. Membangun sarana sanitasi yang memadai juga harus dilakukan. Sarana kesehatan yang baik perlu dibangun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Membangun kepercayaan masyrakat terhadap tenaga medis juga perlu, karena selama ini mereka hanya mengandalkan pengobatan tradisonal untuk mengobati penyakit yang mereka derita.
Pendidikan di daerah perbatasan ini juga terbilang rendah karena kurang terfasilitasi. Ditambah lagi, kurangnya kesadaran masyarakat akan pendidikan sebagai bekal untuk masa depan. Mereka masih beranggapan lebih baik bekerja untuk menghidupi kebutuhan sekarang daripada sekolah untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang.
Keadaan ekonomi yang memaksa mereka mengubur dalam-dalam impian anak-anak di daerah perbatasan untuk menimba ilmu di bangku sekolah. Kemiskinan yang menjadi potret kehidupan mereka membuat mereka berada dalam dilema, apakah akan bekerja untuk mencukupi kebutuhan atau sekolah untuk mencari ilmu demi masa depan. Kebanyakan dari mereka akan mengorbankan cita-cita dan masa depan mereka demi meraup rupiah untuk makan sehari-hari. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, apalagi di era global sekarang yang menuntut manusia untuk selalu berinovasi agar tidak tertinggal karena perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya fasilitas pendidikan di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat tersebut. Jumlah sekolah yang ada tidak mampu menampung seluruh anak usia sekolah. Sulitnya mengakses sekolah di daerah tersebut juga menjadi penghambat untuk menuntut ilmu. Mereka harus menyeberabgi sungai untuk dapat tiba di sekolah. Butuh waktu lama dan tenaga ekstra karena harus melewati medan yang sulit dan jauh.
Selain itu, tenaga pengajar juga terbatas karena tidak banyak yang mau mengabdika diri sebagau guru di daerah terpencil dengan akses yang sulit dan gaji yang kurang memadai. Pernah ada liputan mengenai sosok guru yang harus mengarungi sungai untuk mengambil gajinya di kota kecamatan. Namun biaya yang harus ia keluarkan untuk mengambil gajinya tersebut sangat besar, sama dengan nominal gaji yang ia terima. Sehingga guru tersebut memutuskan untuk mengambil gajinya beberapa bulan sekali karena sulit dan mahalnya medan yang harus ditempuh.
Karena itu, pemerintah harus lebih memperhatikan pendidikan di daerah pelosok di perbatasan tersebut. Bukan tidak mungkin nasionalisme masyarakat setempat luntur karena pemerintah Indonesia kurang memperhatikan kebutuhan mereka, sementara negara tetangga justru memberikan bantuan kepada mereka. Perlu membangun kesadaran masyarakat akan pendidikan untuk investasi masa depan. Hidup bukan hanya untuk hari ini saja tapi juga di hari-hari mendatang, sehingga perlu pendidikan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pemerintah perlu mencanangkan sekolah gratis bagi masyarakat kurang mampu, menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, dan tenaga pengajar yang berkualitas.
Transportasi juga menjadi masalah yang perlu dipecahkan segera. Akses jalan dengan medan yang sulit dan jauh dari jangkauan merupakan masalah yang belum juga diselesaikan. Seperti yang terjadi di Dusun Camar Wulan, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Jalan menuju daerah tersebut sulit dan perlu waktu lama. Butuh waktu 6 jam lebih perjalanan darat dari Pontianak, ditambah harus menyeberangi sungai dan naik feri yang jam operasinya terbatas menuju Teluk Kalong. Di Kecamatan Paloh, jalanan rusak parah dan jembatan untuk menyeberangi sungai-sungai kecil juga hampir roboh.
Dengan akses jalan seperti itu, tidak heran daerah perbatasan tersebut menjadi terisolir. Sulitnya medan yang harus ditempuh dan kurangnya fasilitas transportasi menyebabkan daerah tersebut seolah terputus dari dunia luar. Hal ini berbeda dengan akses dari negara tetangga yang lebih mudah, sehingga pengusaha merasa lebih mudah mendapatkan produk dari Malaysia daripada dari Indonesia. Selain itu, butuh waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal.
Pemerintah sudah seharusnya lebih memperhatikan daerah perbatasannya jika tidak ingin wilayahnya diklaim oleh negara tetangga. Selama ini pemerintah bersikap tidak peduli terhadap daerah perbatasan, namun jika wilayahnya sudah diklaim oleh negara lain mereka baru sadar dan berusaha merebut kembali. Akses menuju daerah perbatasan perlu diperbaiki agar mudah dilalui. Fasilitas transportasi juga perlu diperhatikan agar tidak sulit dijangkau.
Informasi merupakan hal penting untuk menetahui apa yang sedang terjadi di dunia luar. Informasi dibutuhkan agar kita tidak menjadi bangsa yang tertinggal. Warga di daerah perbatasan yang terisolir, biasanya sulit mendapatkan informasi dari dunia luar. Di Desa Temajuk contohnya, sinyal operator seluler tidak mampu menjangkau daerah tersebut. Justru sinyal operator Malaysia yang menjangkaunya. Tidak berbeda dengan televisi. Hanya siaran dari Malaysia yang bisa ditangkap tanpa parabola.
Hal ini tentu sangat memprihatinkan, sehingga pemerintah harus berusaha meningkatkan sistem informasi agar masyarakat tidak terisolir dari dunia luar. Sistem informasi harus mampu menjangkau secara luas, terutama di daerah-daerah terpencil agar mereka tidak ketinggalan informasi dan mengtahui apa yang sedang terjadi di luar sana.
Selain itu, masalah penerangan juga perlu diperhatikan. Banyak daerah yang belum terjangkau listrik sehingga harus menggunakan genset sebagai satu-satunya alat untuk penerangan. Perlu digalakkan program listrik masuk desa, sehingga daerah-daerah terpencil dapat terjangkau listrik.
Selain masalah-masalah regional di atas, terdapat pula masalah nasional yang berpengaruh terhadap kedaulatan wilayah Republik Indonesia. Antara lain masalah penyelundupan, perdagangan manusia, dan tapal batas negara. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu penanganan serius dan secepatnya dari berbagai pihak, terutama pemerintah pusat karena berkaitan dengan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelundupan di daerah perbatasan bukan lagi menjadi barang baru. Terdapat beberapa komoditi yang masuk ke wilayah Indonesia dari Malaysia atau sebaliknya yang dilakukan secara ilegal. Hal tersebut sudah menjadi rahasia umum yang diketahui banyak pihak, namun tidak ditindaklanjuti ke ranah hukum. Padahal terdapat berbagai peraturan dan perjanjian antara kedua negara mengenai perdagangan lintas negara.
Berdasarkan ketentuan tata niaga perdagangan wilayah perbatasan atau perjanjian perdagangan lintas batas Border Trade Agreement yang ditanda tangani pemerintah kedua negara 24 Agustus 1970, sebagai pelaksanaan dari Pemufakatan Lintas Batas Border Crossing Arrangement atau Overland Border Trade yang ditanda tangani di Jakarta, 26 Mei 1967. Dalam perjanjian tersebut diatur perdagangan lintas batas Indonesia Malaysia dapat dilakuan melalui darat dan laut. Khusus untuk perdagangan lintas daratan dapat dilakukan di daerah-daerah yang telah ditetapkan dalam Basic Arrangement On Border Crossing mencakup 5 Kabupaten di Kalbar yang 15 kecamatan dan 98 desanya memiliki kurang lebh 50 jalur setapak di 55 desa yang berhubungan darat langsung dengan 32 kampung di wilayah Serawak Malaysia Timur.
Contoh penyelundupan yang terjadi di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia tersebut adalah penyelundupan gula impor dari Malaysia ke Indonesia. Penyelundupan dilakukan dengan memanfaatkan Perjanjian Perdagangan Lintas Batas Malaysia – Indonesia, yang mengatur setiap orang pelaku perdagangan lintas batas antara Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur. Disebutkan bahwa penduduk yang bertempat tinggal di dalam lintas batas kedua negara diperbolehkan membeli barang-barang konsumsi dan peralatan perkakas yang dibutuhkan untuk keperluan perindustrian.
Dengan perjanjian tersebut, mereka membeli dan memasukkan gula impor yang dipasok oleh pergudangan gula di Pasar Tebedu Baru, sekitar 4 Km dari PPLB Tebedu Serawak Malaysia dan PPLB Entikong Kalimantan Barat Indonesia. Setelah itu penyelundup juga mempersiapkan setoran bagi masing-masing pihak di perbatasan. Setelah lolos dari pemeriksaan pos lintas batas, para pedagang yang membawa gula biasanya melakukan bongkar muat di pangkalan pergudangan pasar kecamatan Entikong dan pasar Balai Karangan kecamatan Sekayam.
Kokohnya tembok yang dibangun, sigapnya barisan petugas yang dipersenjatai dan rapatnya pagar besi perbatasan ternyata bukan menjadi jaminan untuk tidak terjadinya pelanggaran peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia. Kita berharap impor gula ilegal di perbatasan Indonesia – Malaysia tidak terus ditutup – tutupi. Serta mengenyampingkan kepentingan pribadi, kelompok tertentu, ego sektoral pada instansi Departemen tertentu dalam Institusi pemerintahan. Kita optimis berbagai persoalan di wilayah perbatasan, khususnya penangan gula ilegal dapat teratasi tanpa satu pihak pun yang dijadikan kambing hitam.
Selain masalah penyelundupan barang ilegal, perdagangan manusia berkedok pengiriman tenaga kerja merupakan masalah yang juga sudah berlangsung lama. Namun sampai saat ini belum bisa ditangani secara tuntas. Setiap tahun, angka perdagangan manusia justru mengalami peningkatan. Para TKI tidak hanya datang dari masyarakat setempat yang berpendidikan rendah, tetapi juga dari berbagai daerah terutama dari Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Kondisi pendidikan masyarakat di daerah perbatasan yang terbilang rendah dimanfaat oleh oknum tak bertanggung jawab untuk merekrut tenaga kerja dan dipekerjakan secara ilegal di Malaysia. Hal tersebut dapat dicegah jika petugas imigrasi jeli dalam meneliti dokumen-dokumen dan tujuan seseorang melintasi perbatasan. Namun pada kenyataannya, petugas imigrasi mendapatkan sejumlah bayaran dari calo tenaga kerja yang memudahkan mereka melewati perbatasan.
Kondisi ini menyebabkan munculnya berbagai persoalan yang menimpa para TKI, dimulai dari penipuan, penempatan kerja yang tidak sesuai dengan perjanjian hingga menjadi korban kekerasan majikan. Hal ini jelas bertentangan dengan UU No, 39 tahun 2004 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri. Maraknya pengiriman TKI ilegal ke negara malaysia, disamping adanya dorongan untuk memperoleh pekerjaan dengan upah yang tinggi, di sisi lain juga dipicu lemahnya koordinasi dari instansi terkait, terutama pada pos pemeriksaan di pintu perbatasan. Sehingga memudahkan agen maupun penyedia jasa pengiriman, membawa warga negara Indonesia bekerja ke negara tetangga tanpa melewati prosedur yang sah.
Menyikapi berbagai persoalan yang menimpa para TKI, pemerintah pusat segera mengeluarkan kebijakan, yakni membangun Pos Pelayanan terpadu di seluruh pintu perbatasan. Unit pelaksana teknis di bawah BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) ini, disamping dilengkapi fasilitas penunjang juga melibatkan unsur pemerintah daerah setempat. Namun sesungguhnya akar persoalannya bukanlah menyangkut penegakan supremasi hukum saja, tetapi juga terbukanya lapangan kerja dengan tingkat serapan pekerja di usia produktif dalam skala besar sehingga masyarakat tidak perlu bekerja sebaga TKI di negeri orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah tapal batas negara yang sering menjadi masalah di antara kedua negara. Klaim Malaysia atas sebagian wilayah Indonesia di daerah perbatasan tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada negara tetangga. Sebelum menuduh sepatutnya kita berkaca, sudahkah kita, khususnya pemerintah, memperhatikan daerah perbatasan yang merupakan pintu masuk tersebut?
Sebagian besar dari kita hanya akan memperhatikan daerah perbatasan jika negara tetangga mengklaimnya sebagai wilayah negara tetangga. Keadaan di kedua negara akan memanas dan saling tuduh pun tidak terelakkan. Pihak-pihak yang berwenang justru saling menyalahkan dan saling lempar tanggung jawab. Sementara itu, masyarakat di daerah perbatasan diliputi kebingungan karena keadaan tersebut.
Seharusnya kita merawat daerah perbatasan seperti kita merawat beranda rumah kita agar sedap dipandang mata. Yang terjadi justru sebaliknya. Daerah perbatasan seolah dianggap remeh, dan pemerintah lebih memperhatikan daerah dimana terdapat pusat pemerintahan. Pembangunan yang tidak merata tersebut menyebabkan kesenjangan sosial yang berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini bertolak belakang dengan daerah perbatasan di wilayah Malaysia. Daerah perbatasan Malaysia dirawat dengan baik dan diberi fasilitas yang memadai. Jadi jangan kaget bila masyarakat Indonesia di daerah perbatasan lebih memilih untuk melakukan kegiatan ekonomi, menimba ilmu, maupun bekerja di negeri jiran tersebut. Seharusnya pemerintah sadar diri dan mulai memperbaiki kondisi yang ada di perbatasan. Bukan hal mustahil jika suatu saat masyarakat akan lebih memilih menjadi bagian dari negara tetangga dibandingkan tetap menjadi bagian dari NKRI.
Oleh karena itu, ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Bukan hanya menjadi tugas pemerintah untuk mengatasi persoalan yang ada, tetapi sebagai warga negara yang baik kita juga wajib ikut andil dalam menjaga persatuan dan kesatuan negeri kita. Sudah saatnya kita berkaca dan berbenah agar hubungan baik yang telah lama terjalin dengan negara tetangga tidak rusak karena kurangnya kesadaran kita menjaga apa yang menjadi milik kita. Semoga di masa mendatang, persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan tanpa ada pertumpahan darah.
Referensi:

0 komentar:

Blogger Template by Clairvo